Ingin Sumbang Pemikiran Pengakuan Hak Keragaman Gender Berbasis Kebudayaan, BRIN Teliti Bissu Sulsel
Syamsurijal menyatakan, dalam laporan Human Rights Watch (HRW), munculnya gelombang anti-LGBT secara mendadak sangat mengagetkan.
Penulis: Nur Rofifah Marzuki | Editor: Ina Maharani
Syamsurijal menyatakan, dalam laporan Human Rights Watch (HRW), munculnya gelombang anti-LGBT secara mendadak sangat mengagetkan. Gemuruh anti-LGBT datang dari berbagai arah. Media sosial, televisi, dan media-media konvensional menghadirkan narasi menghakimi dan menolak keberadaan mereka. Tak terkecuali para elite politik turut meramaikan gelombang anti LGBT.
Memang, kegaduhan soal LGBT ini sempat mereda. Akan tetapi, ia kembali menjadi isu hangat pada 2021-2022.
“Di Sulawesi Selatan, misalnya, beberapa pentas peragaan busana yang digelar bersamaan dengan pesta pengantin dibubarkan. Para Bissu tidak diberi tempat dalam perayaan kebudayaan yang digelar di beberapa daerah. Lalu muncul pula larangan bagi komunitas yang dianggap LGBT menggelar acara IDAHOBIT (International Day Against Homophobia, Transphobia, and Biphobia) di Makassar,” ujar Syamsurijal.
Nurkhoiron menambahkan, menguatnya persekusi di beberapa tempat dan meredupnya gerakan advokasi hak LGBT sejak 2015, tak menyurutkan komunitas subkultur seperti Bissu untuk tetap bertahan.
“Hal inilah yang memperkuat gagasan di kalangan aktivis HAM, bahwa melalui pendekatan kebudayaan, promosi HAM bisa memiliki kekuatan yang muncul dari dalam budaya-budaya lokal itu sendiri. Dengan cara seperti itu, promosi nilai universal hak asasi manusia tidak terkesan dipaksakan dari luar,” katanya.
Menurut Nurkhoiron, menguatnya gelombang anti LGBT pada 2015-2022, dan juga pada 2021-2022 ini, bisa jadi karena isu LGBT itu sendiri telah melewati batas public sensibility.
Meskipun demikian, kata dia, praktik persekusi dan pengucilan terhadap LGBT bukanlah perintah agama dan suatu pelanggaran HAM. Gelombang emosi massa yang tidak bisa diredakan memang potensial menciptakan konflik dan tindakan-tindakan pelanggaran hukum berlebihan.
“Jika kembali berkaca dalam praktik tradisi Bissu, tampaknya kita tak perlu terlibat mengglorifikasi “kekejaman” masyarakat Indonesia terhadap kelompok LGBT beberapa tahun terakhir ini. Sebaliknya, kita telah lama mengabaikan praktik kebudayaan sebagai pertarungan diskursif , perjuangan nilai-nilai dan cara-cara komunitas tersebut beradaptasi dan bernegosiasi dengan budaya dominan,” kata Nurkhoiron.
Syamsurijal, yang sering menulis soal Bissu dan mendampingi aktivitas Bissu, menyatakan, Bissu telah menjadi subkultur yang kenyal, adaptif, dan mampu mempertahankan identitasnya di tengah dominasi budaya heteroseksual dan Islam. Bissu mampu menunjukkan kemampuan memperjuangkan hak-hak individunya, tanpa mengabaikan identitas komunal yang melekat pula dalam dirinya.
“Perjuangan hak asasi kelompok LGBT perlu belajar pendekatan kebudayaan dari komunitas transvetities dan transgender lokal. Dalam konteks seperti inilah, penelitian ini menjadi menarik dan perlu,” katanya.
Selain itu, Syamsurijal berharap temuan mereka ini akan menjadi cara baru dalam mengampanyekan keragaman gender di tengah menguatnya kelompok intoleran, khususnya yang belakangan ini sering melakukan persekusi terhadap LGBT, yakni suatu kajian yang mendialogkan universalitas HAM tentang promosi keragaman gender dalam vernakularitas Bugis, dihadapkan dengan dominasi budaya heteroseksual-Islam. (*)