Resesi Global
Risiko Resesi Global dan Kebijakan Kontra Siklus, Tidak Boleh Salah Tapi Tak Perlu Tunda Pemilu 2024
memang kita sedang menghadapi “situasi serba salah” dalam ancaman resesi global, tetapi pengambil kebijakan dan kebijakannya “tidak boleh salah
Tidak perlu menunda pemilu karena alasan resesi.
Resesi dan Booming
Risiko resesi global tahun 2023 menjadi perdebatan di antara para ekonom dan pengambil kebijakan. Namun pada umumnya menyimpulkan bahwa resesi global dipastikan terjadi tahun depan dengan magnitudo yang lebih besar dibandingkan resesi tahun 1970-an.
Resesi dan booming adalah fenomena alami dalam siklus bisnis (real business cycle).
Pada saat resesi, perekonomian menurun (negative growth) dan pada saat booming, perekonomian mengalami kenaikan (positive growth). Pada saat perekonomian mengalami fase penurunan dibutuhkan kebijakan anti siklus atau kontra siklus (counter cyclical economic policy).
Terdapat perbedaan defenisi resesi diantara para ekonom. Ekonom, Julius Shiskin (1974) mendefisnikan resesi sebagai pertumbuhan negatif suatu perekonomian dalam dua kwartal secara berturut-turut. Defenisi ini snagat popular dan menjadi seperti rule of thumb dalam teori siklus bisnis.
Sementara National Bureau of Economic Research (NBER) mendefenisiklan resesi sebagai “penurunan aktufitas ekonomi yang menjalar ke seluruh perekonomian, berakhir dalam beberapa bulan, dapat diamati dalam penurunan Gross Domestic Product (GDP) riil, pendapatan riil, pengangguran, produksi industri, dan penjualan ritail.”
Selanjutnya, Kose dan Terrones (2015) mendefenisikan secara lebih longgar bahwa resei adalah kontraksi riil GDP dalam satu tahun.
Sejak tahun 1970-an, telah terjadi lima kali resesi, yaitu resesi 1975, 1982, 1991, 2009 dan 2020. Resesi tersebut selalu diawali oleh resesi yang terjadi di tiga negara utama, yaitu USA dengan 25 persen GDP global, China 18 persen GDP global, dan Zona Euro dengan kurang lebih 12 persen GDP global. Ketiganya berkontribusi 55 persen GDP global.
Kebijakan Kontra Siklus
Risiko resesi global 2023 mirip dengan tahun 1970-an. Resesi 1970-an dimulai dari embargo minyak Arab pada Oktober 1973. Hal ini berdampak pada shock to energy price, harga minyak dunia meningkat sangat drastis. Kenaikan tersebut berdampak pada ßinflasi tinggi. Dimana harga BBM merupakan komponen utama pembentuk Consumer Price Index (CPI) inflation.
Negara-negara maju dan Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) secara terkoordinasi melakukan counter cyclical economic policy. Kebijakan kontra sikulus, pengetatan moneter dan fiskal untuk membawa inflasi tinggi ke level sebelum resesi. Namun, kebijakan tersebut tidak hanya sukses menekan inflasi tetapi juga menyebabkan resesi.
Kecenderungan yang sama juga berpotensi terjadi tahun 2023, dimana resesi global 2020 akibat pandemi Covid-19 direspon oleh otoritas moneter dan fiskal dengan kebijakan yang sangat ekspansif. Suku bunga acuan (policy rate) berada pada level terendah dalam lima dekade terakhir. Stimulus fiskal secara global mencapai sekitar 4 trilyun Dollar AS. Setara 20 persen GDP global.
Hasilnya memang nyata, resei global 2020 hanya terjadi dalam hitungan bulan, dimulai Februari 2020 dan berakhir April 2020. Resesi global 2020 merupakan resesi tercepat yang terjadi dalam sejarah sejak great depression tahun 1929.
Cerita sukses (good news) tahun 2020 rupanya juga disertai oleh kabar buruk (bad news). Stimulus fiskal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kebijakan moneter ekspansif telah membawa perekonomian global ke dalam inflasi tinggi, sekitar 8,2 persen rata-rata global hiungga paruh pertama 2022.