Komunitas Konsumen Desak Obat Sirup Maut Diungkap Terbuka
Komunitas Konsumen Indonesia mendesak agar pemerintah mengungkap secara terbuka nama obat-obatan sirup maut atau yang mengandung senyawa zat berbahaya
TRIBUN-TIMUR.COM - Komunitas Konsumen Indonesia mendesak agar pemerintah mengungkap secara terbuka nama obat-obatan sirup maut atau yang mengandung senyawa zat berbahaya.
Hal itu dikatakan Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing di Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Pihaknya menilai pengungkapan ini diperlukan sehingga masyarakat dapat semakin waspada menyikapi kasus gagal ginjal akut.
“Kami apresiasi lima merek obat sirup dari 26 merek yang diuji BPOM telah dipublikasikan sebagai obat yang menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman,” kata David.
“Namun untuk tidak menimbulkan kegaduhan Pemerintah harus menjelaskan dan mempublikasikan juga 15 dari 18 obat yang dinyatakan Kementerian Kesehatan mengandung bahan berbahaya etilen glikol (EG),” katanya.
KKI meminta Kementerian Kesehatan juga segera publikasi nama-nama obat sirup mana yang mengandung bahan berbahaya, maupun yang tidak demi kenyamanan dan keamanan kepada pengguna obat (konsumen).
Terlebih lagi obat- obatan tersebut banyak beredar dan dijual bebas di apotek.
David menerangkan pentingnya pengungkapan nama-nama obat tersebut karena itu menjadi hak konsumen mendapatkan informasi produk- produk yang dianggap berbahaya untuk dikonsumsi.
“Supaya orang tua si anak mengecek perkembangan kesehatan anak nya secara berkala untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan. Hal ini perlu agar tidak meresahkan anak dan orang tua si anak yang merupakan konsumen pengguna obat,” tegas David.
Perwakilan dari Forum Advokat Peduli Anak (FAPA) Maria Ardianingtyas menyampaikan pandangannya bahwa jangan sampai hak anak terabaikan akibat kebijakan pembatasan obat sirup.
Merujuk Pasal 8 dari Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No 17/2016 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Selain itu, Pasal 22 dari UU Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
“Maka dari itu, jangan sampai pembatasan obat sirup yang tidak jelas dan akurat informasinya justru malah mengabaikan kesehatan anak yang sedang membutuhkan obat-obatan dalam bentuk sirup yang belum ada penggantinya,” kata Maria.
FAPA berharap Kementerian Kesehatan dapat terus berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Harapan dari koordinasi tersebut adalah agar orangtua terus mendapatkan informasi resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai obat sirup yang berpotensi menjadi penyebab gagal ginjal akut anak.