Opini
Bahagia atau Sejahtera?
Kekayaan atau kesejahteraan tidak selalu menjamin kebahagiaan rumah tangga.
Namun, bahagia tidak perlu menjadi tujuan pembangunan ataupun tujuan bernegara. Hal ini karena kebahagian itu adalah sesuatu yang sifatnya abstrak.
Karenanya tidak ada indikator yang sifatnya tegas dan jelas untuk mengukur tingkat kebahagiaan.
Kebahagiaan itu sifatnya situasional, temporal, kondisional, persepsional, dinamis, relatif, berbeda dan terpengaruh oleh kontruksi sosial dan budaya masyarakat.
Misalnya saja jika suatu hari seorang anak yag kuliah di kota besar mendapatkan transfer uang jajan dari orang tua di kampung sebesar satu juta rupiah, maka pada saat itu ia akan merasa sangat bahagia.
Namun, apa yang terjadi jika ia mengetahui bahwa adiknya di kampung juga mendapatkan uang jajan yang sama.
Apakah ia akan tetapa merasa bahagia seperti di awal? Pastilah dalam sekejap rasa bahagia menguap dalam hatinya.
Tak butuh waktu lama rasa bahagia itu telah berubah.
Bahagia itu pun sifatnya persepsional. Setiap individu masing-masing memiliki persepsi bahagia yang berbeda.
Persepsi bahagia bagi individu yang belum memiliki pasangan dalam istilah remaja saat ini kaum jones- pasti berbeda dengan individu yang memiliki pasangan.
Bagi kaum jones, hujan di malam minggu itu adalah sesuatu yang sangat membahagiakan.
Mereka senantiasa berdoa agar setiap malam minggu hujan turun dengan derasnya.
Karena itu akan membuat mereka yang punya pasangan tidak bisa menghabiskan malam minggu di tempat-tempat umum.
Tak akan ada pemandangan kemesraan dari mereka yang punya pasangan yang membuat hati kaum jones semakin keluh.
Berbedanya persepsi dan indikator kebahagiaan akan menyulitkan negara dalam merancang tujuan, sasaran dan program perencanaan pembangunan.
Bukankah sangat lucu bila pemerintah membuat program modifikasi cuaca agar hujan bisa turun setiap malam minggu dengan tujuan agar kaum jomblo bisa semakin bahagia.