Opini
Magnet 'Uang Setan' dan Dampaknya
Itulah wajah demokrasi kita, benar-benar tantangan diperhadapkan praktek politik uang, bagai sekam, bara dalam genggaman.
Oleh:
Juanto Avol
Komisioner Bawaslu Gowa
Divisi Pencegahan, Parmas, dan Humas (P2H)
TRIBUN-TIMUR.COM - Hampir semua sisi kehidupan kita tak pernah lepas dengan urusan politik.
Sebab, produk-produk kebijakan yang lahir dari rahim politik tentunya bermuara pada kepentingan rakyat. Maka bicara tentang politik, idealnya berorientasi pada kesejahteraan dan perbaikan bangsa.
Dinamika politik dan demokrasi selama ini memang bukan barang gampang dan remeh temeh, kompleksitas didalamnya beragam, ada intrik versus integritas, kepatutan rasa adil dan nilai kejujuran.
Semua kompleksitas diatas menjadi pertaruhan, antara kedaulatan rakyat dan kuasa elit mengaturnya dengan bijak dalam bernegara.
Olehnya itu, aktor politik dan pemangku kepentingan musti didorong melahirkan produk kebijakan berbasis cerdas (tidak manipulatif) yang mengarah pada pembangunan sumberdaya manusia, dan peningkatan kualitas layanan publik.
Orientasi politik tadi penting menjadi perhatian dan tanggung jawab kita semua, sebagai proses pencerdasan politik rakyat secara kolektif, tanpa (abu-abu) tumpang harap pada satu pilar demokrasi tertentu.
Maka patutlah hal itu (kesejahteraan) terus digaungkan, agar kedaulatan tetap tegar mengawal arah kebijakan yang berpihak dan mengakar ke bawah.
Gambaran diatas bukanlah sikap apriori, namun patut menjadi renungan disudut rautan wajah demokrasi kita yang mungkin memburam.
Situasi itu perlu dicerahkan dengan kesadaran partisipatif, peningkatan mutu pendidikan politik dan demokrasi sampai ke pelosok desa.
Mengapa ini penting, sebab dari sanalah kultur kearifan lokal bermula, melahirkan wajah-wajah polos konstituen, walau kadang terkontaminasi dengan kedok "sumbangan" oleh para aktor politik dengan praktek gelap politik uang.
Cilakanya, wajah polos (warga) itu percaya, bahwa politik uang benar-benar keberkahan, rezeki langka lima tahunan dimomentum politik.
Mereka tak menyadari itu wujud politik transaksional dalam bentuk lain yang kelak mendegradasi nilai kedaulatan pada orientasi kebijakan politik.
Uang Setan
Pada dasarnya, pemimpin-pemimpin yang lahir dari sentuhan tangan suci tadi, penuh harap dan optimis pada mereka yang kini duduk ditampuk kursi kuasa. Mereka yakin dari hasil proses politik disetiap momentum Pemilu ialah yang terbaik.
Kendati produk-produk kebijakan yang ada ditangan pemangkunya kadang "melempem" tidak tepat sasaran, walau kedaulatan terbesar sebagai kontrol sosial ada di tangan rakyat.
Yang ajaib, rakyat pula seringkali lupa, bahkan mungkin abai dengan kekuatan yang dimilikinya lalu tak mau ambil pusing karena malu telah dinodai "uang setan", sebut saja begitu.
Sehingga tangan-tangan lugu nun jauh dari pelosok sana telah dikotori oleh praktek politik uang. Nalarnya tergadai, powernya melemah, hingga suaranya tak lagi nyaring menenteng aspirasi.
Kritiknya tergerus atas kuasa uang yang menyimpang dari amanah politik nan agung (pancasila).
Itulah wajah demokrasi kita, benar-benar tantangan diperhadapkan praktek politik uang, bagai sekam, bara dalam genggaman.
Bakal membakar diri sendiri dengan penegakan hukum kepemiluan, bahwa praktek itu mampu menghantarkan seseorang dalam "terungku" memilukan.
Pandangan ini jelas, aturan larangan tentang politik uang termaktub dalam Undang-undang Pemilu No. 7 tahun 2017 dan Undang-Undang Pilkada No. 10 tahun 2016 beserta perangkat regulasi turunannnya, bahwa yang memberi dan menerima sama-sama dipidana satu sampai tiga tahun, itu.
Dalam konteks Pemilu, Parpol adalah elemen paling dekat dengan warga (konstituen) yang harus berperan aktif saling mengedukasi publik dalam pendidikan politik. Demikian halnya para tokoh agama dan budayawan mesti hadir sebagai corong kontrol sosial.
Hal vital lainnya, kemungkinan penyelenggara pemilu bisa menjadi sasaran dalam pengaruh magnet pusaran politik uang. Sehinga tak jarang praktik itu mencederai nama baik lembaga.
Mengapa potensi itu ada, boleh jadi (oknum) ia enggan dan berat hati keluar dari pusaran, lalu tak sadar menjelma sebagai 'setan' dalam wujud manusia, ikut menodai kesucian nilai-nilai demokrasi, agama dan budaya sampai ke kampung-kampung.
Dari semua objektivitas dan subyekyektifitas diatas tentang politik uang, memang perlu bertahap merubah paradigma masyarakat bahwa itu bukanlah prilaku wajar berkebudayaan.
Perlu dipahami, politik uang yang dilakukan secara terus menerus merupakan warisan kekeliruan, bukan kebudayaan, karena sejatinya kebudayaan berangkat dari nilai luhur nan agung yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan.
Sementara politik uang adalah praktik 'haram' yang bertentangan dengan Undang-Undang dan agama. Lalu bagaimana mungkin "uang setan" itu bisa disebut kebudayaan.
Karena sesungguhnya praktik politik uang menyebabkan disorientasi nilai, akan berimplementasi pada buruknya pelayanan publik dan sikap acuh pemangku kebijakan kepada rakyat sampai ke level bawah.
Dan akhirnya kebijakan yang lahir dari pengambil keputusan hasil praktik politik uang, justeru akan berorientasi pada kepentingan pribadi memperkaya diri, kelompok, dan golongan tertentu.
Sedangkan rakyat tetap dengan cangkulnya, keranjang dagangnya, mengayuh becak, gerah dan lusuh dalam selimut kemiskinan.
Karenanya, politik uang membuat hak rakyat tergadaikan, kritik dan usulan yang mereka dorong pada pemangku kebijakan untuk diperjuangkan sejahtera, semakin tak berdaya, norma sosial dan integritasnya terdegradasi.
Jika kembali bicara demokrasi dalam konteks negara baru berkambang ini, dampak politik uang begitu nyata terhadap akuntabilitas lembaga-lembaga demokrasi dan civil society atas representasi kebijakan.
Secara konprehensif, bicara soal dinamika jual beli suara dari pemilu ke pemilu, membanding dalam konteks Orba dan demokrasi kini dengan mengeksplorasi karakteristik, entitas, intensitas dan efek elektoral politik uang dalam riset Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 sampe sekarang, cukup mengkhawatirkan.
Studi kasus dalam IKP itu berbicara politik uang menunjukkan kisaran 10 persen, mengingat jumlah pemilih loyalis masih kecil. Insentif (sumbangan) material itu secara absolut jatuh ke tangan para pemilih yang rendah pemahaman.
Maka ini menunjukkan walau kisaran 10 persen, namun dalam konteks proporsional terbuka, efek dari 10 persen itu sangatlah besar, lebih dari cukup bagi banyak calon mendapatkan kemenangan dengan cara-cara yang dilarang oleh konstitusi.
Inilah yang menjelaskan mengapa politisi begitu antusias mengejar kemenangan dengan praktek culas politik uang.
Riset diatas menggambarkan, selain pendidikan politik dan pemahaman demokrasi yang sempit di level bawah, dan rendahnya pengetahuan masyarakat akan dampak kebijakan-kebijakan hasil praktek politik uang pasca kemenangan para aktor. Maka salah satu kerawanan dalam pemilu mendatang masih dalam lingkaran "uang setan".
Semua itu patut secara sadar, tantangan kedepan menjadi tanggung jawab kita semua mencerdaskan rakyat dalam praktek politik akal sehat menolak politik uang.
Sehingga posisi tawar rakyat semakin kuat dan berdaulat, tak tergadaikan dan pupus atas janji calon pemimpin yang pernah disuarakan.
Olehnya pendidikan politik berbasis partisipatif selalu didorong sebagai instrumen pencerdasan. Cara ini bisa dimulai dari pelosok kampung dan lorong-lorong kota.
Sebab disanalah sulit membedakan hasrat warga, antara kebutuhan dan kesempatan dalam kesesatan politik uang.
Sudah sepatutnya proses pencerdasan itu dimulai dari sekarang, agar prilaku-prilaku elit tidak lagi menjadikan warga sebagai objek kepentingan semata.
Mustinya dimana pun ruang dan strata sosial rakyat, para tokoh politik dan lokal sebaiknya bercengkrama duduk disana sembari menikmati kopi.
Membisikkan dan menentukan nafas warga dengan edukasi politik akal sehat, sebagai harapan arah kebijakan pembangunan, kesejahteraan dan peningkatan SDM.
Nalar kritis orang di kampung dan kota mestinya selalu dipantik, untuk menyeleksi karakter dan kualitas kepemimpinan dimasa mendatang.
Sebab, prilaku elit politik terkadang muncul seperti musim hujan. Tiba-tiba hadir membawa benih-benih harapan, namun pergi begitu saja usai menebar janji-janjinya.
Maka pemahaman warga tentang demokrasi, politik, kepemiluan dan kebijakan harus diperkuat. Agar mereka tidak tersesat dalam keramaian janji musiman.
Suara mereka tak boleh tergadaikan begitu saja oleh praktek politik transaksional dengan cara-cara culas. Ia harus bernilai sebagai senjata ampuh menentukan (pilihan) calon pemimpin terbaik.
Olehnya praktek transaksional itu yang seringkali dianggap lumrah sebagai sebuah kewajaran, mesti diamputasi karena seolah sebagai sebuah produk kebudayaan. Padahal prilaku itu justeru bertentangan dengan esensi kebudayaan.
Diakhir tulisan ini, mengutip nalar sehat Isaac Newton, seorang filsuf asal Inggris, ia berkata, "saya memang tidak cerdas, tapi saya suka mengamati dengan cermat.
Ada jutaan orang hanya melihat dedaunan jatuh, tetapi orang tidak bertanya (kecuali Newton) mengapa daun bisa jatuh?"
Jika dianalogikan, memang tak semua orang cerdas, namun pasti ada yang mengamati dengan nalar sehat (cermat), ada jutaan orang menganggap poltik uang sebagai sedekah, tetapi tidak bertanya mengapa kebijakan politik jatuh tak berpihak dalam kehidupan rakyat untuk sejahtera.
Ooh mungkinkah karena "uang setan".(*)