Opini
Syafaat Rasulullah
Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas menyebut kosa-kata 'syafaat' sebanyak 23 kali yang tersebar dalam 17 surah.
Oleh:
Dr Ilham Kadir MA
Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang
TRIBUN-TIMUR.COM - Syafaat secara bahasa berasal dari kata asy-syaf'u lawan kata dari al-witru (ganjil), yaitu 'menjadikan yang ganjil menjadi genap'.
Seperti satu dijadikan dua, tiga menjadi empat, dan seterusnya. Atau dengan bahasa lain, menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain agar menjadi sepasang.
Secara istilah sebagaimana disebut oleh Ibnu Atsir, bahwa syafaat adalah permohonan kepada Allah untuk pengampunan dosa.
Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa syafaat adalah perantara bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak sebuah kemudharatan.
Maksudnya, asy-syaafi' (pemberi syafaat) itu berada di antara masyfu' lahu (yang diberi syafaat) dan masyfu' ilaih (yang diberikan) sebagai perantara untuk mendatangkan manfaat bagi masyfu' lahu.
Penting sekali memahami makna syafaat: apa pandangan berbagai aliran teologi tentang syafaat, siapa yang mampu memberi syafaat, dan kepada siapa syaf'at diberikan, dan apa saja amalan-amalan yang kelak mampu menjadi syafaat bagi pelakunya.
Tulisan ini akan menjawab segenap pertanyaan tersebut. Amma ba'du!
Pentingnya memahami syafaat dengan baik dan benar dapat ditelaah dari ayat-ayat Al-Qur'an yang dengan jelas menyebut kosa-kata "syafaat" sebanyak 23 kali yang tersebar dalam 17 surah.
Ini berarti perkara penting, sebab Kitab Suci tidak akan menyebut dan atau mengulang-ulang sebuah kata kunci tanpa alasan yang jelas.
Ayat pertama dalam susunan muhaf Al-Qur'an yang menyebut 'syafaat' dengan jelas sebagai berikut, "Dan jagalah dirimu dari azab hari kiamat yang pada saat itu seseorang tidak akan mampu membela orang lain, walau sedikit pun. Dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong, (QS. [2] Al-Baqarah: 48).
Demikian pula, tidak sedikit hadis Nabi yang begitu jelas menerangkan masalah syafaat dengan detail, lebih khusus tentang maqamnya yang mampu memberikan jatah syafaat kepada umatnya.
Sabda Nabi, "Setiap Nabi memiliki doa yang mustajab. Maka setiap nabi telah menggunakan doa tersebut. Dan aku menyimpannya sebagai syafaat bagi umatku, kelak di hari kiamat. Syafaat tersebut insya Allah akan didapati oleh setiap orang dari umatku yang wafat dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun," (HR. Bukhari, No. 6462; Muslim, No. 512).
Juga riwayat lain, dari Abu Musa Al-Asy'ari, berkata, Rasulullah bersabda, "Aku diberi dua pilihan: hak syafaat ataukan separuh dari umatku masuk dalam surga. Aku memilih syafaat karena lebih umum dan lebih luas jangkauannya. Apakah kalian mengira bahwa syafaat diberikan kepada mereka yang bertakwa? Tidak, syafaat hanya untuk mereka berdosa, bersalah dan kotor oleh noda maksiat," (HR. Ibnu Majah, No. 1441/3411).
Persoalan syafaat masuk dalam dimensi akidah, karena itu berbagai paham tentang syafaat antara satu aliran teologi dengan lainnya juga mengalami perbedaan mendasar, baik dalam pemahaman maupun amalan.
Penganut akidah wihdatul wujud atau "manunggalin kawulo gusti" serta pengikut ajaran tasawuf ghuluw atau yang terlalu ekstrem berkeyakinan bahwa syafaat datang dari ahli kubur yang diagungkan ketika masih hidup seperti wali dan dukun-dukun yang semasa hidupnya dianggap sakti mandraguna.
Juga seperti penganut akidah Syiah yang meyakini bahwa para imam-imam mereka, baik yang Imam 12, maupun imam-imam lain yang kuburannya dijadikan tempat meminta syafaat.
Selain itu, aliran Mu'tazilah dan Khawarij yang merupakan antitesa dari golongan pertama.
Mereka ini mengingkari adanya syafaat dari Nabi Muhammad dan juga selain Rasulullah, serta meyakini bahwa tidak ada syafaat bagi para pelaku dosa besar.
Golongan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jamaah, yang meyakini dengan pasti akan adanya syafaat dari Allah sesuai dengan ketetapan yang syarat-syaratnya ditetapkan Allah dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah.
Mengimani keberadaan syafat tanpa berlebihan (ifrath) dan tanpa meremehkan (tafriith).
Umat Islam, khususnya Ahlusunnah Wal Jamaah meyakini bahwa Nabi Muhammad akan memberikan syafaat kepada seluruh umat manusia ketika berada di padang mahsyar (mauqif).
Ketika itu, seluruh manusia, dari Nabi Adam hingga manusia yang terakhir terlahir sebelum kiamat tiba disatukan untuk menunggu proses hisab atau perhitungan amal ketika hidup di dunia, dalam keadaan yang sangat chaos (kacau) dan genting karena saling berdesakan, ditambah dengan matahari tinggal sejengkal dari kepala, maka seluruh manusia mencari siapa saja yang bisa menolong atau memberi syafaat.
Langkah pertama, penduduk padang mahsyar datang kepada Nabi Adam, permintaannya: agar proses hisab disegerakan, penduduk padang mahsyar tidak sanggup lagi bertahan. Nabi Adam tidak mampu.
Lalu, mereka mendatangi Nabi Nuh, meminta seperti apa yang diminta kepada Nabi Adam, namun Nuh tak mampu, lalu merekomendasikan Nabi Ibrahim, dan Ibrahim pun tak mampu berbuat.
"Pergilah kalian menemui Nabi Musa yang Allah berbicara dengannya dan memberinya kitab Taurat," kata Nabi Ibrahim. Manusia lalu berbondong-bondong ketemu Nabi Musa, "Aku bukanlah orang yang berhak untuk itu," jawab Musa, lalu menyaranakan, "Pergilah kalian menemui Nabi Isa Ruhullah, dan Kalimat-Nya".
Ketika manusia menemui Nabi Isa, maka ia menjawab, "Aku bukankah orang berhak untuk itu," lalu memberikan saran, Pergilah kalian menemui Nabi Muhammad seorang hamba Allah yang telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun akan datang.
Anas berkata, "Rasulullah bersabda, 'Setelah itu mereka datang menemuiku, akupun berkata, akulah orang yang berhak untuk itu. Maka aku pun pergi serta memohon izin menghadap Rabbku, lalu diizikan, maka tatkala aku menghadap, maka aku merebahkan diri untuk sujud, lalu dibiarkan-Nya, aku sujud beberapa lama yang Allah kehendaki, kemudian diserukan kepadaku, 'Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah niscaya kau diberi, dan berilah syafaat niscaya akan dikabulkan'!". (HR. Al-Jama'ah).
Peristiwa ini disebut sebagai "syafa'atul udzma" atau syafaat terbesar dari diri Rasulullah karena diberikan kepada segenap umat manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, bangsa, warna kulit, bahasa dan seterusnya.
Selain itu, ada pula syafaat Nabi yang terakhir kalinya yang juga tidak hanya diberikan kepada umatnya, tapi juga umat lain, tetapi bersifat khusus karena hanya untuk penghuni surga, yang sudah pasti para ahlul-tauhid, atau yang mentauhidkan Allah sebagaimana intisari dakwah para nabi dan rasul.
Jadi mereka yang telah mendapat rahmat spesifik untuk masuk surga, masih tetap membutuhkan syafat Rasulullah.
Sabda Nabi melalui jalur Anas bin Malik, "Aku mendatangi pintu surga pada hari kiamat, lalu aku meminta agar pintu surga dibuka. Penjaga surga berkata, 'Siapa kamu? Aku menjawab, 'Muhammad'. Lalu penjaga pintu surga berkata, 'Aku diperintahkan agar tidak membuka pintu surga lebih dulu untuk siapa pun kecuali untukmu," (HR. Muslim, No. 197).
Paling penting adalah mengetahui amalan yang dapat menjadi sarana untuk mendapat syafaat rasulullah dan atau amal shaleh, setidaknya ada empat: pertama.
Memperbanyak sujud yakni istiqamah menjalankan ibadah salat fardhu lalu ditambah dengan salat-salat sunnah.
Diriwayatkan bahwa salah seorang pelayan ditanya oleh Nabi, Apa keperluanmu? Dia menjawab, Keperluanku agar engkau Wahai Rasulullah memberi syafaat bagiku pada hari kiamat. 'Bantulah aku dengan memperbanyak sujud', jawab Rasulullah. (HR. Ahmad, 3/500, disahihkan oleh Al-Albani).
Kedua. Memperbanyak membaca Al-Qur'an lalu ditadabburi isinya akan menjadi pemberi syafaat di hari kemudian. Nabi bersabda, "Bacalah Al-Qur'an, karena sesungguhnya bacaan Al-Qur'an akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafaat bagi orang-orang yang membacanya, (HR. Muslim, No. 804).
Ketiga, berpuasa, baik puasa fardhu Ramadhan maupun puasa sunnah. Baik Al-Qur'an maupun puasa akan datang dan berdoa kepada Allah, " Pusa berkata, Ya, Rabb, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka izinkan aku memberi syafaat padanga. Lalu bacaan Qur'an berkata, Wahai Rabb, aku telah mencegahnya dari tidur di malama hari, maka izinkan aku memberi syafaat kepadanya.
Rasul bersabda, Maka keduanya diizinkan memberi syafaat," (HR. Imam Ahmad, 2/174). Keempat, bershalawat pada Nabi, lebih khusus ketika selesai mendengarkan adzan lalu berdoa, untuk mendapatkan wasilah,
"Kemudian mintalah kepada Allah wasilah untukku, karena sesungguhnya itu adalah kedudukan yang tinggi di surga, yang tidak pantas diduduki kecuali oleh seorang hamba dari para hamba Allah. Dan aku berharap akulah hamba tersebut. Barangsiapa yang memohon wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafaatku," (HR. Muslim, 1/288).
Dan redaksi shalawat paling ringkas adalah, "Allahumma shalli 'ala Muhammad".
Demikian antara amalan yang mampu mendatangkan syafaat kepada pelakunya. Maka di momen Bulan Maulid ini, mari bertekad agar istiqamah menjalankan ibadah yang mampu menjadi perantara datangnya syafaat di hari kemudian, utamanya syafaat dari Rasulullah. Wallahu A'lam!(*)