Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Hak Demokrasi dalam Kolom Pemilu dan Tantangannya

Belajar dari riwayat pemilu masa lalu, nampaklah proses demokrasi sedang berbenah, mengubah wajahnya dari masa ke masa.

Editor: Hasriyani Latif
dok Avol
Komisioner Bawaslu Gowa Juanto Avol. 

Atau sebaliknya, rakyat ‘memilih untuk tidak memilih kolom kosong’, lalu menyalurkan hak suaranya ke kolom calon beserta partai dan nomor urutnya.

Yang pasti, kedua hal diatas diakomodir sebagai hak ruang partisipatif.

Ketika kritik muncul, siapa yang bisa menduga adanya suara rakyat dalam kolom kosong sebagai gerakan kritis, wujud perlawanan, representasi ketidakberpihakan mereka pada calon tertentu?

Mungkin satu hal yang patut dipahami, bahwa kolom kosong bukanlah sekadar kotak kardus, hampa tanpa suara.

Melihatnya di dalam sana, perlu dengan nalar demokrasi sehat, ada subjektivitas dan objektivitas.

Misalnya objektifitasnya didasari kekecewaan yang mereka (rakyat) alami. Rasa ketidakadilan, kesenjangan sosial, kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, sulitnya lapangan kerja, lambannya layanan kesehatan dan lain sebagainya.

Sederhana pandangan ini dianalogikan, calon melawan kolom kosong atau kolom kosong melawan calon, boleh.

Sungguh itu bisa dimaknai ‘head to head’ dengan rakyat, karena dalam regulasi kepemiluan, itu sah.

Kalau ditanya, calon dekat rakyat yang mana, atau rakyat dukung calon siapa dan sebaliknya?

Jawabnya dalam posisi logis tadi, ialah rakyat yang memiliki hak pilih untuk menyalurkan suaranya di kolom kosong atau kolom calon.

Tentu kompleksitasnya ada pro dan kontra, itu kebebasan dalam control, lumrah. Jika mengamati forum-forum rakyat di sudut kota, pelosok kampung, warung kopi dan media sosial.

Diskusi-diskusi kepemiluan tentang kolom kosong tak pernah alpa dari pertanyaan, apakah hal itu berpotensi kecurangan?

Misalnya warga pro kolom kosong ditunggangi, disemangati memilih atas fakta-fakta kekecewaan tadi, entah.

Rakyat berharap pemilu mendatang, sejatinya murni didorong bersama tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan ‘kotor’ seperti hoax, politik identitas (SARA), intervensi kebijakan dan politik uang.

Sebab sadar atau tidak, jika politik demikian dilakoni, maka prilaku tak elok itu bagai warisan gelap ‘lingkaran setan’.

Mereka bak memberi namun kasat mata merampas banyak hak-hak rakyat. Sebuah jalan kelam menuju kemunduran bangsa yang jauh dari akal sehat. (*)

Sumber: Tribun Timur
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved