Opini
Hak Demokrasi dalam Kolom Pemilu dan Tantangannya
Belajar dari riwayat pemilu masa lalu, nampaklah proses demokrasi sedang berbenah, mengubah wajahnya dari masa ke masa.
Gambaran proses pemilu serentak 2024 mendatang, kini telah memasuki tahapan awal yang sedang berlangsung, yaitu verifikasi administrasi Parpol sebagai calon peserta pemilu.
Sistem itu merupakan cerminan karakter demokrasi terbuka, walau mungkin masih dalam keterbatasan prangkat verifikasi dan bayang masa lalu.
Ada dua indikator gambaran itu terasa nampak, ketika parpol tidak siap dengan segala perangkatnya, hingga ditemukan dan dilaporkan beberapa diantaranya mencatut nama-nama warga ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang bukan anggota dan pengurus Parpol.
Kedua, bila melihat Pemilihan-pemilihan sebelumnya, mungkin Parpol ‘kering’ melahirkan kader-kader berkualitas sebagai calon-calon pemimpin yang disodorkan kepada konstituen, sehingga diperhadapkan dengan potensi Kolom kosong (Koko).
Sebenarnya “mahluk Koko” ini, bukanlah hal baru, sungguh bukan.
Loncatan ingatan yang dikemukakan tadi soal Golput, sebuah tranformasi pemikiran gerakan ke kolom kosong, sebut saja begitu.
Sebab konon, Golput dimaknai gerakan perlawanan, kritik rakyat terhadap pemimpin otoriter dan atau tokoh tertentu.
Maka pemaknaan kolom kosong kali ini, juga bisa ditelaah sebagai tempat ‘memilih untuk tidak memilih’.
Apa itu ‘memilih untuk tidak memilih’? Bisa dikatakan, hanya istilah dan zamannya berbeda.
Orde baru berubah ke reformasi-demokrasi, Golput bertransformasi ke kolom kosong.
Bedanya dimana? Golput dahulu dalam konteks orde baru, tak diatur sebagai hak konstitusional, jika tak memilih, suara dianggap tidak ada, ‘hangus’.
Sedangkan kolom kosong dalam wajah demokrasi sekarang, diatur dalam regulasi kepemiluan sebagai ruang hak konstitusional, sah.
Berdasarkan nomenklatur pasal 14 dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), nomor 13 tahun 2018. Lalu dimana titik temunya?
Apapun istilahnya, mau dia Golput atau kolom kosong, ia merupakan wadah representasi rakyat, bisa ‘memilih untuk tidak memilih calon’.
Hal ini pula dimaknai, rakyat memilih untuk tidak memilih orang, partai dan nomor urut. Sehingga menyalurkan hak suaranya ke kolom kosong.