Opini
Jeneberang Tercemar
Berdasarkan temuan di Dermaga Daeng Tata, Jembatan Kembar, sungai terkontaminasi pula mikroplastik rata-rata 169 partikel dalam 100 liter air.
Oleh: Abdul Gafar
Pendidik di Depertemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Komunitas Pemerhati Sungai Jeneberang dan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara melakukan penelitian kualitas air Sungai Jeneberang, pada Sabtu (1/10/2022).
Ternyata sungai yang berlokasi di Kelurahan Parangtambung, Kecamatan Tamalate, tepatnya di Dermaga Daeng Tata, di bawah Jembatan Kembar Kabupaten Gowa dan Sungai Tallo telah tercemar.
Koordinator Komunitas Pemerhati Sungai Jeneberang, Ahmad Miftah, menuturkan, sungai kotor dan penuh sampah plastik. Sedih melihat sungai yang digunakan untuk bahan baku air minum, dijadikan tempat sampah dan buangan limbah.
Peneliti Chusnul Khatimah, menambahkan, temuan kadar klorin dan fosfat di sungai tersebut sudah di atas baku mutu kualitas air.
Kadar klorinnya di angka 0,09 ppm, padahal baku mutu tidak boleh lebih dari 0.03 ppm.
Pencemaran klorin berasal dari aktivitas pertanian dan limbah cair domestik.
Peneliti Tim Ekspedisi Sungai Nusantara, Prigi Arisandi menuturkan, berdasarkan temuan di Dermaga Daeng Tata, Jembatan Kembar, sungai terkontaminasi pula mikroplastik rata-rata 169 partikel dalam 100 liter air.
Jenis mikroplastik yang mendominasi adalah fiber 74 persen, fragmen 14 persen , dan filament 12 persen.
Pencemaran terjadi karena limbah domestik yang tidak dikelola dan langsung dibuang ke sungai. Dalam proses pencucian, benang-benang plastik rontok dan mencemari air sungai.
Temuan para peneliti atas kualitas air Sungai Jenberang, hendaknya tidak disepelekan. Pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait harus segera turun tangan dan mengatasi pencemaran tersebut.
Dengan demikian, pencemaran dapat dikurangi dan dampak yang tidak diharapkan, dapat dicegah.
Kacau
Sesuatu yang berjalan mengikuti jalurnya dipastikan tidak akan pernah bertemu di titik manapun. Semuanya berjalan di lintasan masing-masing, tidak akan menimbulkan gesekan.
Itulah teori yang disepakati selama ini dalam berbagai bidang kehidupan kita. Namun dalam kenyataan yang kita saksikan, gesekan, sentuhan, benturan terkadang mewarnai perjalanan tersebut.
Ketidaktaatan, ketidakpatuhan, ketidakdisiplinan, pasti akan menimbulkan permasalahan bagi para pelakunya. Sebagai contoh sederhana di jalan raya.
Semua telah ditetapkan jalur masing-masing serta kecepatan yang diperbolehkan. Berani keluar dari aturan main yang sudah ditetapkan, maka pasti akan menimbulkan malapetaka.
Oleh karena itu, jangan coba bermain-main dengan aturan yang telah disepakati.
Di negeri ini kita juga sudah terbiasa dengan berbagai eksperimen, uji coba dan semacamnya yang diterapkan dalam berbagai kebijakan.
Hasil eksperimen jika tidak menimbulkan goncangan, maka eksperimen ataupun uji coba itu akan diteruskan sebagai kewajiban yang harus ditaati.
Inilah dinamika kehidupan yang bergerak disertai pergolakan kecil-kecilan.
Tetapi terkadang pergolakan itu membesar dan menyebar hingga kemana-mana. Akhir pergolakan biasanya disudahi kekisruhan hingga bentrok tanpa hasil yang memuaskan.
Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM bersubsidi belakangan ini menimbulkan gerakan perlawanan dari kelompok masyarakat.
Gerakan perlawanan ini telah menimbulkan masalah di berbagai tempat. Pemerintah tampaknya memang berani dengan kebijakan tersebut. Aksi penolakan tidak direspons.
Ibarat pepatah : “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Suara gemuruh dari mahasiswa yang turun ke jalan dan jeritan rakyat tidak didengarkan. Kobaran api dan kepulan asap hitam dari ban-ban bekas yang dibakar dianggap hanya tulisan indah yang tergambar di depan mata.
Kesolidan antara pemerintah dan ‘wakil rakyat’ terkadang terlihat dalam keputusan-keputusan yang dilahirkannya. Sekali-kali terlihat ‘percekcokan’ agar dimaknai adanya dinamika berdemokrasi dalam berbangsa dan bernegara. Ini adalah keteraturan atau kekacauan dalam berdemokrasi ?
Sebagai negara yang menganut Ciri demokrasi Pancasila dapat terlihat (1). Pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi (2). Adanya pemilu secara berkesinambungan (3). Adanya peran-peran kelompok kepentingan (4). Adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas (5). Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah (6). Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Ada enam titik utama yang berkaitan dengan demokrasi Pancasila, apakah masih tetap relevan dengan kondisi saat ini?
Apakah negara masih tetap berperilaku secara konstitusional dalam arti keseluruhan? Jangan sampai melanggar konstitusi yang telah disepakati secara bersama sejak Indonesia merdeka, namun dibiarkan berlalu tanpa sanksi tegas.
Apakah sistem pemilu yang sudah mapan berlaku akan dilanggar demi kepentingan golongan tertentu?
Adakah penghargaan terhadap kelompok minoritas ? Undang-undang dasar negara kita menjamin adanya hak-hak tersebut.
Lagi-lagi dalam kenyataan terlihat adanya ’kepincangan’ dalam penerapannya. Padahal Negara berkewajiban melaksanakannya sesuai UUD 45.
Ada kelompok masyarakat yang bergabung karena adanya kesamaan dalam pandangan hidup mereka dapat saja dibubarkan tanpa proses peradilan. Terlihat kekuasaan yang sangat besar sehingga lembaga peradilan diabaikan, langsung dibubarkan organisasi itu.
Kekacauan pengelolaan dalam organisasi besar cukup memiriskan hati dan pikiran kita yang awam. Organisasi ini merupakan kumpulan orang pandai dan cerdas di negeri ini yang dikenal dengan nama dewan perwakilan rakyat.
Peristiwa terkini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah memberhentikan Hakim Konstitusi Prof Aswanto. Menurut 9 mantan Hakim MK, keputusan itu inkonstitusional. Nah, kacau bukan ???