Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kolom Teropong

Kolom Teropong: Immoral

Immoral merupakan perbuatan yang tidak bermoral, bertentangan dengan moral dan tindakan yang tidak etis atau tidak berakhlak.

Editor: Hasriyani Latif
DOK PRIBADI
Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Abdul Gafar. Abdul Gafar merupakan penulis Kolom Teropong Tribun Timur berjudul Immoral. 

Abdul Gafar

Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Perilaku anak bangsa yang tersajikan dalam untaian berita cukup memiriskan kita. Tindakan dan perbuatan mereka telah merusak dan mencederai reputasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun hancur seketika.

Secara aturan mereka sadar dan tahu bahwa itu melanggar, namun tetap saja mereka lakukan ketika ada kesempatan dan niat yang menyatu. Kenyataan ini melanda banyak kalangan mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.

Kerja-kerja mereka termasuk rapi dan terstruktur melalui jaringan yang tergalang dengan baik. Tindakan mereka ini dipahami sebagai tindakan immoral.

Immoral merupakan perbuatan yang tidak bermoral, bertentangan dengan moral dan tindakan yang tidak etis atau tidak berakhlak.

Mereka yang bertindak immoral memiliki pengetahuan tentang moral benar dan salah, tidak memiliki kelainan, namun tetap saja melakukannya meski salah.

Bisa dikatakan bahwa immoral bertentangan dengan moralitas yang baik. Urusan moral tidak menjadi rujukan dalam bertindak. Terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang yang ada untuk dinikmati.

Banyak pejabat eksekutif terlibat dalam perbuatan yang bersifat immoral, baik itu di tingkat daerah, provinsi dan nasional.

Lurah, camat, bupati, walikota, gubernur hingga tingkatan menteri ada yang menjadi ‘penghuni’ lembaga pemasyarakatan.

Tercatat dalam sejarah nama mereka sebagai penghuni karena terkait korupsi. Catatan sejarah kelam ini tidak menjadikan pelajaran bagi yang lain untuk menghindari jejak pendahulunya.

Terbukti hingga saat ini nama-nama baru terus bermunculan, baik itu secara perorangan maupun melibatkan kelompok.

Kasus korupsi ‘bersaudara’ dekat dengan tindakan menyuap. Mungkin karena pejabat kita masih merasa ‘lapar dan dahaga’ kehidupan dunianya hingga memerlukan penyuapan dari pihak yang berhubungan dengannya.

Penyuap dan penerima suap saling menguntungkan dalam kerja sama yang digarapnya.

Proyek biasanya akan berjalan ‘mulus’ jika suapan yang diberikan dapat ‘mengenyangkan’ dan menghilangkan rasa ‘haus’ yang mendera.

Kasus yang baru saja terlacak adalah tindakan gubernur di wilayah timur terkait gratifikasi Rp 1 miliar.

Selain itu pula adanya transaksi mencurigakan berupa setoran tunai ke kasino senilai kisaran Rp 560 miliar berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Kerja berat dan kerja keras KPK terus dipantau agar tidak ‘kecolongan’ di tengah pengusutan kasus ini dan kasus-kasus lainnya.

Selain pejabat eksekutif yang terjaring dalam kasus suap dan korupsi turut ‘dimeriahkan’ jajaran penegak hukum dan polri.

Tercatat misalnya jaksa dari Kejagung Pinangki Sirna Malasari. Ada dua orang Ketua Mahkamah Konstitusi pada masanya yakni Patrialis Akbar dan Akil Mochtar.

Kemudian ada mantan Kabareskrim Susno Duadji dan mantan Kakorlantas Djoko Susilo. Teranyar, Hakim Agung Sudrajad Dimyati tersangka dugaan suap untuk pengurusan perkara di Mahkamah Agung.

Perilaku penegak hukum kita terjerat oleh kemiskinan moral yang dimiliki. Komitmen dan integritas mereka ‘tersandera’ oleh kebutuhan duniawi yang menggoda terus-menerus.

Sumpah dan janji yang dinyatakan ketika menerima amanah sebagai pejabat hanya pepesan kosong. Kebohongan demi kebohongan menjadi skenario yang telah dipatenkan.

Penerapan hukum yang seharusnya ditegakkan, terkungkung oleh berbagai kepentingan. Siapa yang akan menghukum dan siapa yang akan dihukum menjadi abu-abu.

Semua dapat diatur dengan rapi. Pasal-pasal penerapan hukumnya dapat ‘disesuaikan’ berdasarkan kesepakatan bersama.

Hukum tersandera oleh penegak hukum itu sendiri. Hukum menghadirkan hukum. Hukum mematikan hukum.

Suatu negeri jika kondisi seperti di atas terus berlangsung, maka tunggulah kehancuran yang akan menimpanya. Ketika penguasa menzalimi rakyatnya, rusaklah negeri tersebut. Lalu, masihkah dibiarkan?(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved