Polisi Tembak Polisi
Opini Mulawarman: Ferdy Sambo dan Reaktualisasi Budaya Siri Na Pacce
Polemik seputar budaya siri na pacce mengemuka di Sulsel menyusul kasus polisi tembak polisi yang membuat Ferdy Sambo tersangka
Apalagi harus narik-narik institusi polri. Budaya siri na pacce sering disimbolisasi sebagai aksi baku tikam dalam satu sarung demi menjaga harga dirinya, yang merupakan perlambang kesatria bagi orang Bugis, Makassar dan Toraja.
Sementara mereka yang mendukung menyebut tindakan Ferdy Sambo sebagai wujud dari Siri Na Pacce, yang dilakukan demi menjaga harga diri dan keluarganya.
Apa yang dilakukan Ferdy Sambo sebagai bentuk mappakasiri, karena telah dinodai kehormatannya.
Karenanya, ia harus berusaha menghilangkan rasa malu itu, passampo siri. Biarpun mati demi menjaga kehormatan, maka matinya sebagai "mate risantangi" atau "mate rigollai", yang berarti kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.
Dalam batas tertentu, sebagian masyarakat di Sulsel melihat bahwa tindakan Ferdy Sambo seperti dibenarkan secara adat dan budaya Siri Na Pacce.
Seperti yang diakui Ferdy Sambo sendiri di awal, bahwa dirinya dan keluarganya merasa terhina dan terzalimi dengan tindakan anak buahnya tersebut. Karena pengakuan itulah, masyarakat terkesan membenarkan.
Reaktualisasi Budaya
Jauh sebelum kasus Ferdy Sambo, masyarakat kita kerap mendengar aksi pembunuhan atau perkelahian kelompok masyarakat disebabkan karena faktor Siri Na Pacce.
Sebelumnya kasus yang sempat ramai, seorang oknum polisi yang menembak istrinya dan anggota TNI di rumahmnya di Jeneponto, diklaim akibat karena siri'. Pun halnya kasus kekerasan dan tawuran antara warga atau antara mahasiswa kerap dituduhkan pada pembelaan terhadap Siri Na Pacce.
Dalam konteks masyarakat, kini dan di masa mendatang tampaknya klaim budaya Siri Na Pacce akan selalu menjadi pembenaran terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Pasalnya, budaya itu sudah menginternalisasi dalam pikiran dan tindakan masyarakat etnis Bugis Makassar dan Toraja.
Terlepas benar atau tidak atas klaim budaya itu, maka diperlukan upaya yang lebih maju dalam menyikapi budaya siri'- ini. Yaitu dengan perlunya melakukan reaktualisasi nilai Siri Na Pacce. Baik dalam relasinya dengan hukum formal yang berlaku di Indonesia maupun dengan perkembangan zaman.
Untuk itu, bila terjadi kasus hukum maka diperlukan sikap yang lebih arif dalam perspektif hukum formal. Hal ini sesuai dengan landasan negara kita sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUDNRI).
Meski sebagai entitas, masyarakat Bugis Makassar dan Toraja telah lebih dulu menganut dan mempraktikan budayanya, namun bukan berarti harus dipertentangkan dengan aturan hukum dan UU yang berlaku di negara ini. Karena dalam kenyataan, bila terdapat pertentangan budaya dengan hukum, maka hukumlah yang harus dikedepankan.
Mengingat dalam implementasi pun, Siri Na Pacce sebetulnya tidak dapat melakukan pembalasan kalau sudah ditangani pemerintah atau para orangtua. Karena pemerintah dan orangtua harus dihormati sirinya, nasekkoni we’wangeng ratu, dalam artian telah ditutupi oleh atap ratu.