Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Muh Imran Tahir

Pemetaan Bahaya Tsunami untuk Membangun Budaya Sadar Bencana

Pulau Sulawesi juga wilayah yang rawan akan kejadian tsunami baik yang bersumber dari subduksi lempeng dan sesar di Pulau Sulawesi sendiri.

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur - Opini berjudul Pemetaan Bahaya Tsunami untuk Membangun Budaya Sadar Bencana 

Oleh: Muh Imran Tahir

Pengamat Meteorologi Geofisika
BBMKG Wilayah IV Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan seismik aktif di Indonesia.

Peningkatan aktivitas kegempaan di kawasan ini disebabkan oleh pertemuan empat lempeng tektonik yaitu Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan lempeng Filipina.

Bentuk pulau sulawesi tergolong unik yang menyerupai huruf K sebagai manifestasi Pertemuan lempeng yang bersifat konvergen dengan empat buah lengan yang dikenal dengan sebutan Lengan Selatan,
Lengan Utara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara.

Menurut Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi 2017 yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR, setidaknya terdapat 46 segmen sesar yang tersebar di pulau Sulawesi.

Beberapa contoh kejadian gempabumi merusak yang pernah terjadi dan menimbulkan kerusakan di wilayah Sulawesi yaitu Gempabumi Palu 1938 (M7.9), Tinambung 1969 (M6.1), Pinrang 1997 (M6.0), Kendari 2000 (M6.0), Manado 2007 (M6.5), dan Palu 2018 (M7.5).

Selain potensi gempabumi merusak, Pulau Sulawesi juga wilayah yang rawan akan kejadian tsunami baik yang bersumber dari subduksi lempeng dan sesar di Pulau Sulawesi sendiri, ataupun berasal dari sumber pembangkit yang berada di sekitar Pulau Sulawesi.

Propinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerawanan bencana tsunami khususnya yang terletak di sepanjang pesisir selatan propinsi Sulawesi Selatan.

Wilayah Pesisir Selatan Propinsi Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang memiliki resiko ancaman tsunami yang bersumber dari jalur Patahan Naik Laut Flores, Sumbawa, Laut Banda serta Patahan Selayar segmen barat dan timur.

Laut Flores merupakan zona seismisitas yang cukup aktif di wilayah Nusa Tenggara, hal ini disebabkan terdapat sesar aktif yang memanjang dari pantai utara Lombok hingga sebelah timur Laut Bali.

Sesar aktif ini dikenal sebagai Flores Back Arc Thrust (sesar naik belakang busur kepulauan Flores). Sesar ini merupakan sesar naik (thrust fault) dan terbagi menjadi 6 segmen, yaitu segmen Bali (Mmaks 7.4), Lombok-Sumbawa (Mmaks 8.0), Nusa Tenggara Barat (Mmaks 7.5), Nusa Tenggara Tengah (Mmaks 7.4), Nusa Tenggara Timur (Mmaks 7.5) dan Wetar (Mmaks 7.5). 4 Selain itu, ancaman gempabumi dan tsunami di wilayah di Sulawesi Selatan juga dapat bersumber dari Sesar Selayar yang terbagi menjadi 2 segmen, yaitu Sesar Selayar segmen Barat dan segmen Timur.

Sesar ini dekat dengan wilayah Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Selayar. Sesar Selayar merupakan jenis sesar turun (normal fault) dengan magnitudo maksimum M7.2.

Data Katalog Tsunami BMKG menyebutkan bahwa tanggal 29 Desember 1820, gempabumi berkekuatan 7,5 SR yang berpusat di Laut Flores pada koordinat 7 o LS dan 119 o BT pernah mengguncang wilayah Sumbawa dan dampaknya dirasakan hingga di wilayah Sulawesi bagian Selatan.

Gempabumi tersebut menyebabkan tsunami dan menyapu Pelabuhan Bulukumba. Tsunami menghancurkan desa-desa di barat Bhontain (Bantaeng) sampai timur Bulukumba, termasuk Desa Terang-Terang dan Nipa-Nipa.

BMKG pada tahun 2021 telah memulai pemodelan dan survei dan pemetaan bahaya tsunami. Survei dan pemetaan bahaya tsunami terutama difokuskan pada wilayah pesisir yang memiliki sejarah dan potensi terdampak tsunami.

Untuk wilayah propinsi Sulawesi Selatan tercatat sudah 4 kabupaten yang telah memiliki peta bahaya tsunami dengan skala
kecamatan.

Diantaranya Kab. Bulukumba, Jeneponto, Bantaeng dan Kab. Pinrang.

Diharapkan kedepan kerjasama dengan Pemerintah Daerah khususnya Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) di tiap kabupaten dapat terus bersinergi dan melanjutkan survei dan pemetaan bahaya tsunami sehingga semua kecamatan di tiap kabupaten/kota memiliki peta bahaya tsunami.

Sebagai contoh di Kab. Jeneponto, dari 8 kecamatan yang berada di pesisir, saat ini baru 3 kecamatan yang memiliki peta bahaya tsunami dan sudah dilaksanakan survei bersama dengan BPBD setempat.

Dari hasil kajian Peta Bahaya Tsunami, untuk kab. Jeneponto potensi ketinggian maksimum gelombang tsunami mencapai 6 meter dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 1800 m.

Untuk Kab. Bantaeng potensi ketinggian maksimum gelombang tsunami mencapai 3 meter dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 700 m.

Sedangkan untuk Kab. Bulukumba memiliki potensi ketinggian gelombang tsunami 10 m dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 912 m. Skenario sumber pembangkit tsunami untuk kab. Jeneponto dan kab. Bulukumba berasal dari Sesar naik Flores sedangkan untuk kab. Bulukumba berasal dari sesar Selayar.

Masyarakat yang berdomisili di pesisir cenderung menciptakan pranata sosial yang dinamis mengikuti kondisi geografis.

Pranata sosial ini selanjutnya menciptakan kearifan lokal yang terbentuk dan diwariskan secara turun temurun termasuk bagaimana merespon dan melakukan mitigasi bencana alam yang pernah terjadi sebelumnya.

Dalam perspektif bencana tsunami, masyarakat pesisir pada dasarnya sudah memiliki alarm alami ketika tsunami akan menerjang kawasan pesisir dan pantai.

Sebagai contoh kearifan lokal Smong di pulau Simeulue membuat minimnya jumlah korban akibat tsunami pada tahun 2004 saat berbagai negara yang terkena tsunami korbannya mencapai ribuan. Di Pariaman ada  tradisi bernama “hoyak tabuik” (prosesi mengguncang patung Tabot), adanya penanaman tanaman cemara dan mangrove di pesisir pantai untuk mengurangi hembasan gelombang tsunami.

Kearifan lokal yang lainnya masih banyak kita kenal di masyarakat indonesia. Namun demikian, kearifan lokal saja dalam upaya mitigasi bencana tsunami tentu belum cukup karena dinamika serta fenomena bencana alam khususnya tsunami terkadang memiliki karakteristik dan pembangkit yang tidak melulu karena gempabumi kuat yg berlokasi di laut.

Sebagai contoh tsunami selat sunda yang menerjang pantai Anyer Banten tahun 2018 yang diakibatkan oleh erupsi anak Krakatau.

Erupsi anak Krakatau dikonfirmasi menyebabkan longsoran bawah laut sehingga terjadi pergerakan massa air laut ke pesisir pantai Anyer dan menyebabkan korban jiwa.

Karakteristik tsunami selat Sunda bisa dikatakan tsunami senyap karena tidak didahului gempa bumi kuat di laut yang getarannya dapat dirasakan masyarakat sekitar,namun justru pada saat sebelum tsunami masyarakat tidak merasakan getaran karena sumber pembangkit tsunami tidak berasal dari gembumi tektonik di laut namun diakibatkan oleh erupsi gunung anak Krakatau.

Berangkat dari kenyataan dan sejarah tsunami tersebut maka mempersiapkan Peta bahaya tsunami di wilayah yang rawan terdampak gelombang tsunami khususnya di daerah pesisir sudah sepatutnya menjadi prioritas dalam upaya mitigasi bencana yang sistematis dan berkelanjutan.

Peta Bahaya tsunami yang dikeluarkan BMKG pada prinsipnya merupakan upaya yang konkrit untuk bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dalam membangun budaya siaga dan sadar bencana tsunami.

Kesiapsiagaan terhadap potensi bahaya tsunami merupakan tanggungjawab bersama baik BMKG, BNPB, Pemerintah Daerah, Komunitas Masyarakat, Pelaku Usaha dan yang lainnya.

Kedepan BMKG bekersama dengan BPBD di tiap daerah selanjutnya akan memasang rambu-rambu dan jalur evakuasi tsunami sehingga memudahkan proses evakuasi jika seandainya bencana tsunami terjadi.

Survei dan pemetaan bahaya tsunami bukan bermaksud untuk memberikan informasi yang menakutkan di tengah masyarakat sehingga menimbulkan polemik dan tersebarnya informasi yang menyesatkan, namun kajian peta bahaya tsunami dimaksudkan untuk memberikan informasi terkait potensi ketinggian maksimum gelombang tsunami dengan menerapkan skenario terburuk dari sumber pembangkit tsunami di sekitar wilayah masing-masing.

Dengan mengetahui potensi ketinggian tsunami dan mengenali karakteristik wilayah masing masing, diharapkan Pemerintah Daerah dapat membuat rencana Tata Ruang dan Willayah (RTRW) dengan memperhitungkan potensi kerusakan akibat gelombang tsunami. Disamping itu melalui edukasi dan simulasi yang berkelanjutan dengan menerapkan skala prioritas, diharapkan jumlah korban akibat bencana tsunami dapat diminimalisir.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved