Opini Darma Endrawati
Menguak Fenomena Pemuda Tidak Produktif
Pemuda dibatasi pada rentang usia 15-24 tahun, dengan asumsi merekalah yang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan memegang kendali perubahan.
Oleh: Darma Endrawati
Fungsional Statistisi BPS Prov Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Membahas kaum muda sejatinya membahas kualitas bangsa di masa depan.
Dalam tulisan ini pemuda dibatasi pada rentang usia 15-24 tahun, dengan asumsi merekalah yang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan memegang kendali perubahan.
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, pemuda usia 15-24 tahun di Sulawesi Selatan berjumlah 1,62 juta atau setara dengan 8,2 persen dari total penduduk.
Fenomena kualitas pendidikan dan pengangguran menjadi isu utama pada kelompok usia ini.
Dari sisi pendidikan, berdasarkan data Susenas Maret 2021 menunjukkan bahwa 26,7 persen penduduk usia 15-24 tahun di Sulawesi Selatan berstatus tidak bersekolah.
Pada lokus yang sama, penggangguran pada rentang usia 15-24 tahun paling tinggi yaitu 18,23 persen (Sakernas Februari 2021).
Selama ini tingkat pengangguran sering dijadikan ukuran produktifitas pemuda.
Namun di masa sekarang bauran permasalahan pendidikan dan pengangguran memunculkan permasalahan yaitu pemuda tidak produktif atau dalam bahasa ketenagakerjaan dikategorikan NEET (Not in Education, Employment and Training).
ILO (International Labour Organization) mendefinisikan pemuda tidak produktif (NEET) adalah pemuda usia 15-24 tahun yang tidak bekerja, tidak dalam masa pendidikan atau pelatihan.
Indikator NEET merupakan alternatif baru dalam menggambarkan ketidakproduktifan generasi muda.
Indikator ini digunakan untuk mengukur kemajuan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) yaitu tujuan 8, mempromosikan lapangan kerja penuh, produktif dan layak.
Dalam publikasi Kemenaker Menghadapi Fenomena NEET (2016) mengelompokkan pemuda tidak produktif dalam tiga penyebab yaitu keputusasaan, pengangguran dan marjinalisasi.
Fenomena pemuda tidak produktif akan membawa kerugian bagi kehidupan berbangsa. Secara ekonomi jelas pemuda tidak produktif (NEET) akan menjadi beban finansial.
Bonus demografi hanya besaran angka yang minim menyokong perekonomian dan dalam jangka waktu lama akan menimbulkan keputusasaan dan berujung pada konflik sosial.
Lalu, bagaimana fenomena pemuda tidak produktif (NEET) di Sulawesi Selatan??
Sepanjang kurun waktu 2015 hingga 2021, persentase NEET di Sulawesi Selatan cukup tinggi di atas 20 persen.
Bahkan pada masa pandemi 2020 persentase NEET mencapai 25,5 persen.
Angka ini berarti dari 100 orang pemuda usia 15-24 tahun, 26 orang diantaranya tidak produktif (tidak sekolah, tidak bekerja dan pelatihan).
Pada tahun 2021 seiring melandainya pandemi persentase pemuda tidak produktif menurun di level 23,8 persen namun masih di atas kondisi normal tahun 2019 yang senilai 21,9 persen.
Solusi atas permasalahan pemuda tidak produktif bisa dilakukan sesuai karakteristiknya.
Analisa terhadap data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) memberikan gambaran karakteristik mengenai hal ini.
Pemuda tidak produktif (NEET) didominasi oleh perempuan dengan persentase hampir 60 persen. Angka ini cukup tinggi mengingat NEET tidak termasuk perempuan yang memilih tidak aktif karena mengurus rumah tangga.
Hal ini terkonfirmasi juga oleh data persentase pemuda tidak produktif yang didominasi status belum menikah sebesar 70 persen.
Selanjutnya dari sisi tempat tinggal, fenomena pemuda tidak produktif berimbang antara perdesaan dan perkotaan, dengan persentase perkotaan 51 persen.
Sementara dari sisi pendidikan, ijazah terakhir pemuda tidak produktif sebagian besar jenjang pendidikan menengah atas (40 persen).
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dominansi karakteritik pemuda tidak produktif (NEET) adalah perempuan, tinggal di perkotaan , belum menikah, dan jenjang pendidikan menengah atas.
Untuk itu perlu dilakukan stressing kebijakan pada karakteristik tersebut.
Menghadapi fenomena pemuda tidak produktif diperlukan usaha multisektoral yang meliputi sisi ekonomi, sosial dan mental.
Perluasan akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja mutlak dilakukan.
Peningkatan kapasitas pemuda berupa pendidikan formal dan infomal terutama yang bersifat vokasi (kejuruan) akan memberi harapan pemuda terserap ke pasar kerja.
Perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Pelatihan terkait pemanfaatan dunia digital untuk ekonomi perlu dimasifkan.
Besarnya persentase kepemilikan smartphone dan meluasnya jaringan internet belum diimbangi dengan produktifitas dari sisi ekonomi.
Akselerasi kapasitas ekonomi yang memacu pertumbuhan ekonomi adalah cara ampuh untuk mengurangi pengganguran sekaligus pemuda tidak produktif (NEET).
Berbagai peraturan yang berdampak pada melambatnya perekonomian diminimalisir.
Selain itu, pembangunan mental dengan pendekatan budaya dan spiritual akan menghasilkan pemuda yang tidak mudah menyerah, pandai melihat peluang dan tangguh menghadapi tantangan.(*)
