Opini Abdul Gafar
Mahal
Sesuatu bernilai mahal, murah, atau tidak berharga sama sekali tergantung karena persepsi terhadap barang atau benda tersebut.
Oleh: Abdul Gafar
Dosen Purnabakti Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Sesuatu bernilai mahal, murah, atau tidak berharga sama sekali tergantung karena persepsi terhadap barang atau benda tersebut.
Misalnya sebuah karya lukis yang dibuat oleh seorang maestro lukis, pasti akan diberi nilai sangat tinggi oleh kaum penikmatnya.
Sebaliknya, bagi seorang bukan penikmat, karya lukis itu akan dinilai biasa-biasa saja.
Ada cerita yang penulis sering sampaikan ketika memberikan kuliah kepada mahasiswa tentang karya lukis yang dibuat oleh seorang pelukis terkenal.
Di atas kanvas putih itu hanya diletakkan sebuah titik kecil. Di sudut kanan bawah, tertera tanda tangan sang pelukis.
Dalam sebuah pameran terbuka, karya lukis itu turut dipajang. Harga yang tertera untuk lukisan tersebut bernilai Rp. 250 juta.
Pengunjung awam menilai lukisan tersebut harganya tidak wajar, alias terlalu mahal. Hanya sebuah titik di atas kanvas putih. Apa artinya ? Entahlah apa yang ada dibenak para pengunjung. Setiap orang memberikan persepsi dan makna yang berbeda-beda.
Tiba-tiba datang seseorang yang berani membeli lukisan itu. Ternyata yang ‘dibelinya’ adalah nama sang pelukis, bukan tanda titik di atas kanvas itu. Namun ia mencoba menjelaskan bahwa “titik itu memiliki makna yang sangat luas dan tidak terbatas”, ujarnya dengan bangga. Orang ini berujar di atas persepsinya sendiri.
Contoh di atas adalah kisah kehidupan manusia yang dipertontonkan kepada orang lain.
Boleh jadi itu sebuah alasan semata untuk membenarkan persepsinya atau menutupi kebodohannya seolah-olah pintar.
Objek yang sama, namun diberi nilai yang berbeda berdasarkan sudut pandang masing-masing orang yang melihatnya.
Persoalan atau kejadian besar, namun dapat diperkecil dalam liputan media. Sebaliknya persoalan kecil, namun dapat diperbesar dan dipelintir menjadi besar.
Keberadaan media utama tersaingi kemunculan media online dalam kecepatan sebaran berita atau informasi.
Masalah yang kritis adalah berkaitan dengan ketepatan dan verifikasi yang jujur dari sang pewarta. Keketatan dalam pemberitaan ‘boleh’ diabaikan demi kecepatan.
Belum lagi kemunculan para netizen yang memanaskan situasi pemberitaan menjadi ajang curhat yang sifatnya menyerang objek pemberitaan.
Terjadi penghukuman sebelum seseorang diproses di pengadilan. Bermunculan para ‘pengadil’ yang merasa suci dari segala perbuatan tercela.
Kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik di negeri ini konon terjadi karena tembak-menembak antaraparat kepolisian yang bertugas sebagai ajudan Kadiv Propam Polri (sudah dinonaktifkan).
Sebenarnya soal tembak-menembak antaraparat bukanlah persoalan besar.
Hanya kebetulan karena menyangkut ‘orang besar’ sehingga menarik untuk diberitakan. Menurut berita yang awalnya tersebar karena terjadi pelecehan oleh sang ajudan terhadap ibu yang selalu dikawalnya.
Tetapi yang dikejar oleh banyak pihak adalah soal tewasnya sang ajudan oleh ajudan lainnya. Simpang siur pemberitaan semakin merajalela dengan merambah kemana-mana.
Unsur utama yang diduga pelecehan sirna dengan fokus adanya pembunuhan.
Tampaknya aparat bekerja cepat karena adanya arahan dari pihak Kapolri termasuk Presiden RI.
Pelacakan dilakukan oleh aparat kepolisian untuk mencari siapa sesungguhnya dalang dalam kasus ini. Penembaknya saja sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Spekulasi terus berkembang.
Penggalian informasi dari banyak pihakpun belum membuahkan hasil yang membuat kita berada dalam kepastian. Otopsi berulang telah dilakukan. Biaya mahal telah dipersiapkan utuk mengungkap kasus ini.
Beberapa waktu lalu ketika terjadi penembakan (tembak-menembak ?) yang berakhir kematian terhadap anggota FPI tidak sekencang kasus terakhir ini.
Tidak diketahui apa cerita akhir kasus tersebut. Terkubur ditelan masa. Tinggal kenangan dalam kesunyian sendiri. (*)