Opini Tribun Timur
Antara Sampah Plastik dan Limbah Detergen
Di suatu sore yang cerah. Cahaya mentari benderang menyisir bangunan-bangunan, pepohonan, dan segala yang menjengul di dataran bumi ini.
Hanya 50 persen dari senyawa aktif dalam limbah detergen yang dapat terurai dalam waktu 90 hari, sisanya mengendap hingga bertahun-tahun lamanya.
Ini adalah data yang saya ambil dari kanal youtube Official Net News yang tayang pada 27 maret 2018 lalu.
Sebagian besar limbah detergen datang dari rumah-rumah. Artinya, tidak ada segelintir orang yang mesti dipojokkan dalam masalah ini.
Kita semua penyumbang limbah detergen pada lingkungan setiap harinya, jadi renungilah diri sendiri.
Kita sama-sama tahu bahwa produk andalan untuk mencuci pakaian, membersihkan badan, serta mencuci perabot rumah adalah detergen. Sebagian besar dari kita memilih detergen yang busanya berlimpah.
Ada semacam pemahaman yang tertanam di dalam kepala kita, ‘kalau banyak busanya pasti bersih hasilnya’ kurang lebih kalimatnya seperti itu yang kita anut sejak sebelum tahun 1965 (generasi awal munculnya detergen yang mengandung bahan kimia ABS sebagai penghasil busa).
Hal itu semacam anggapan yang hanya beralas pada penglihatan dan perasaan, justru bila busa yang dihasilkan detergen banyak maka air yang dibutuhkan untuk membilasnya juga banyak dan kekuatan perusaknya pada air dan apa-apa yang hidup darinya juga semakin menggila.
Satu, kita boros air dan yang kedua adalah kita merusak lingkungan yang akhirnya juga bakal berdampak buruk pada kehidupan kita.
Tak kalah hebat dengan limbah-limbah lain. Dilansir dari website resmi Kabupaten Pati Bumi Mina Tani bahwa bahan-bahan kimia yang terkandung dalam limbah detergen berdampak buruk pada lingkungan.
Antara lain, pertama; bahan surfaktan (ABS) sulit terurai di alam, sehingga dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air. Selain itu bahan ini juga merusak organ pernafasan (insang) pada ikan.
Kedua; busa deterjen yang dibuang ke sungai menyebabkan kontak air dan udara menjadi terbatas sehingga menurunkan proses pelarutan oksigen ke dalam air.
Hal ini menyebabkan organisme di dalam air kekurangan oksigen, hingga bisa menimbulkan kematian.
Ketiga; Bahan builder (STPP) dalam jumlah yang terlalu banyak dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan pada air, sehingga air kekurangan oksigen akibat pertumbuhan dan perkembangan algae (phytoplankton) yang cepat.
Algae juga merupakan makanan bakteri. Sehingga perkembangannya memicu populasi bakteri yang berlebihan.
Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan oksigen meningkat dan pada akhirnya membahayakan kehidupan makhluk hidup di dalam air.