Opini Dr Ilham Kadir MA
Daging Qurban
Musim qurban tiba, masyarakat muslim seantero dunia bersuka cita menyambut Idul Adha.
Namun dibolehkan memberikan mereka daging dengan maksud sebagai hadiah, berdasar pada Hadis Nabi dan testimoni Ali radhiallahu 'anhu, Aku diperintah oleh Rasulullah untuk mengurusi unta-unta qurbannya, dan untuk membagikan kulit-kulitnya, dan kulit kering yang diletakkan pada punggung unta untuk melindungi dari dingin, dan aku diperintahkan untuk tidak memberikan daging sebagai upah kepada para penjagal.
Lalu Ali berkata, Kami memberikan upah kepada para jagal dari harta yang kami miliki. Hadi ini dirawikan oleh Jama'ah, atau Bukhari-Muslim dan 4 lainnya. Lalu apakah ada ketetapan porsi daging qurban yang harus dibagikan? Saya kemukakan dua hadis sebagai dasar utama, serta pandangan ulama.
Hadis pertama dari Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Bersabda, Makanlah, Simpanlah, dan Sedekahkanlah. Hadis kedua, dari Salmah bin Akwa', dirawikan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda, Makanlah, Masak lalu bagikan ke orang lain, dan sedekahkanlah.
Jika merujuk pada kedua hadis di atas, maka hadis pertama menunjukkan jika bagian untuk yang berqurban labih banyak, dua banding satu.
Sedangkan hadis kedua pun demikian, namun harus dimasak lalu mengundang orang lain untuk makan bersama.
Beberapa daerah, khususnya di Enrekang mengamalkan hadis kedua ini. Berqurban, lalu memasak, dan mengundang orang-orang untuk datang menikmati hidangan daging qurban bersama.
Secara umum, terkait pembagian daging qurban, ulama terbagi menjadi dua golongan: Imam Ahmad bin Hambal: Dimakan untuk pequrban; dimasak untuk diberikan makan orang lain; dan disedekahkan. Imam Syafi'i: Diutamakan agar bagian untuk dimakan dan disimpan tidak melebihi dari sepertiga; sepertiga lainnya dihadiahkan; dan sisanya disedekahkan pada fakir miskin. Mazhab Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal mewajibkan pembagian daging hewan qurban berdasarkan ayat, "Makanlah dan berikanlah sebagian kepada orang-orang sengsara dan fakir", (QS. Al-Hajj:28).
Mazhab Maliki dan Hanafiah berpendapat, diutamakan dan terpuji membagikan daging hewan qurban pada orang lain, tetapi bukan wajib.
Alasannya: Esensi syariat berqurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan manifestasi rasa syukur. Ini beda dengan syariat zakat yang memang bertujuan untuk dibagikan kepada golongan tertentu, utamanya fakir dan miskin.
Berikut aya kutip pendapat Sayid Sabiq, "Bagi yang berqurban hendaknya memakan qurbannya yang diperbolehkan untuk memakannya sebanyak yang ia inginkan, tanpa batas. Juga berhak untuk membagikan atau bersedekah sebanyak yang ia inginkan.
Ada juga pendapat bahwa dimakan setengah, dan lebihnya disedekahkan, ada juga pendapat agar dibagi tiga: sepertiga dimakan, sepertiga dijadikan hadiah, dan sepertiga disedekahkan,".
Jelasnya, pembagian daging qurban bukan termasuk syarat sahnya qurban, tentu lebih banyak dibagikan pahalanya lebih banyak pula.
Dan dewasa ini, sudah banyak panitia qurban dibentuk oleh lembaga filantropi yang kredibel seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk mengelola qurban dan pembagian hewan qurban dengan sangat baik, termasuk pembagian daging yang telah dikalengkan lalu diserahkan pada masyarakat tertentu yang terbelakang dari segi ekonomi.
Atau minimal, melakukan pengantaran dan pemerataan pembagian daging qurban ke desa-desa terpencil yang penduduknya jarang sekali menikmati hidangan daging, lebih khusus lagi di daerah terpencil yang minoritas muslim seperti Tator dan lainnya. Selamat Menyambut Hari Raya Qurban, 1443 Hijriah. (*)