Catatan di Kaki Langit
Catatan di Kaki Langit Prof Qasim Mathar: Beragama itu Plong!
mari tinggalkan tradisi buruk, ribut dalam perbedaan. Perbedaannya juga cuma dalam perkara fikhi, kok.
Oleh: M Qasim Mathar
Cendekiawan Muslim/Pendiri Pesantren Matahari Dusun Mangempang Maros
TRIBUN-TIMUR.COM - Biasalah, tradisi yang buruk: ribut dengan perbedaan Hari Raya Iedul Fitri, dan kini Iduladha. Padahal kalau dipahami filsafat ilmunya, tidak perlu tradisi buruk itu dipiara.
Tahu ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari Rukyat dan Hisab, tentu bisa memaklumi umat berbeda hari dalam beribadah sunnat salat Ied.
Umat Islam Indonesia akan ber-Iedul Adha pada Sabtu 9 Juli 2022 bagi pengikut Hisab, dan pada Ahad 10 Juli 2022 bagi pengikut Rukyat.
Rukyat pada permulaan abad ketujuh Masehi, masa Nabi Muhammad saw., adalah melihat hilal (bulan sabit) dengan mata telanjang.
Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, kini Rukyat tidak lagi "telanjang", tetapi ber"pakaian", yakni teropong atau teleskop.
Setelah ber"pakaian", dijelaskanlah Rukyat itu ialah "melakukan pengamatan visibilitas hilal pada saat matahari terbenam (saat Magrib) pada petang hari jelang hari pertama bulan kalender Hijriah, melalui teropong atau teleskop".
Sedang Hisab adalah "perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi hilal awal tersebut".
Tradisi buruk semakin berisik, terpicu oleh keputusan Kerajaan Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah pada Jumat 8 Juli 2022 (9 Zulhijjah 1443), besoknya lebaran Iedul Adha 9 Juli 2022 (10 Zulhijjah 1443).
Sama dengan lebaran pengikut Hisab, dan beda dengan lebaran pengikut Rukyat, umat Islam Indonesia.
Ontologi dalam filsafat membimbing untuk tahu dan mengerti hakikat sesuatu. Epistemologi membimbing untuk tahu dan mengerti kenapa sesuatu itu demikian. Sedang aksiologi membimbing untuk tahu dan mengerti tujuan sesuatu itu.
Sebagai sudah dijelaskan di atas apa itu Rukyat dan Hisab, maka ontologi kedua hal itu diketahui dan dimengerti. Tidak sama. Beda, bukan.
Orang buta mustahil melakukan Rukyat, walau pakai teropong atau teleskop. Tapi, orang yang sama bisa melakukan Hisab, asal ahli matematika dan astronomi. Betul, kan.
Maka sudah sangat terang epistemologi keduanya, Rukyat dan Hisab, beda, dong. Terang, bukan.
Nah, ini yang sama. Baik yang Rukyat maupun yang Hisab sama-sama ingin beribadah dengan PLONG.
Lha, apa itu PLONG? PLONG adalah "berasa lega, nyaman, atau berasa bebas dari beban pikiran, perasaan dan sebagainya". Jadi PLONG itu adalah aksiologi dari beragama dan beribadah.
Jika yang Rukyat dipaksa ikuti Hisab, gawat. Begitu pula sebaliknya. Gawat, jika yang Hisab dipaksa ikuti Rukyat. Kenapa gawat? Iya, dong. Puasanya, lebarannya, dan lain-lain ibadahnya, dilakukan dengan tidak PLONG.
Jadi, mari tinggalkan tradisi buruk, ribut dalam perbedaan. Perbedaannya juga cuma dalam perkara fikhi, kok.
Tradisi buruk itu pun sudah memperburuk yang pokok: Akhlak. Saya teringat buku Kang Jalal (alm.), tokoh Syiah itu: "Dahulukan Akhlak dari pada Fikhi". Benar juga, ya!(*)