Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Muliaty Mastura Yusuf

UINAM dan Identitas Lokal

Universitas Islam Negeri Alauddin atau popular disebut dengan singkatan UINAM, lahir pada 10 November 1965.

DOK PRIBADI
Alumni IAIN/UIN Alauddin, Wakil Sekretaris MW KAHMI Sulsel, Muliaty Mastura Yusuf penulis opini UINAM dan Identitas Lokal di Tribun Timur edisi Kamis (30/6/2022). 

Oleh: Muliaty Mastura Yusuf
Alumni IAIN/UIN Alauddin, Wakil Sekretaris MW KAHMI Sulsel

TRIBUN-TIMUR.COM- Universitas Islam Negeri Alauddin atau popular disebut dengan singkatan UINAM, lahir pada 10 November 1965.

Dulu bernama Institut Agama Islam Negeri Al-Jamiah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah.

Kini, sudah menjadi ikon “Kampus Peradaban” perguruan tinggi Islam di Makassar, bahkan meliputi kawasan timur Indonesia.

Sebagai ikon kampus peradaban, sejatinya mencitrakan diri sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya dapat melahirkan sarjana, magister, dan doktor cerdas berdasarkan ilmu yang diperoleh semata, tapi lebih urgen adalah bagaimana UIN memvisualisasikan dirinya menjadi panutan budi pekerti, sopan santun dan memegang nilai-nilai budaya dengan tidak mengenyampingkan nilai-nilai agama.

Sebab, bukankah bangsa beradab adalah bangsa yang memegang budi bahasa, adab, dan kebudayaannya?

Berbicara tentang peradaban, juga membincang tentang kemajuan.

Apa yang telah dicapai dari nama IAIN menjadi UIN, adalah suatu yang fantastis. Sebanyak 11 orang menakhodai Alauddin.

Dari tangan Haji Aroepala sebagai kuasa rektor tahun 1965-1968, Drs H Muhyiddin Zain; Prof H Abdurrahman Syihab, Drs H A Moerad Oesman, Dra Hj Andi Rasdiyanah, Drs H M Shaleh Putuhena, Prof Dr H Abd Muin Salim, Prof Dr H Azhar Arsyad, Prof Dr H Qadir Gassing, Prof Dr H Musafir Pababari dan kini berada di pundak Prof Drs Hamdan Juhannis MA PhD.

Dari kurang tertarik masuk IAIN ketika itu, kini jumlah pendaftarnya malah tumpah ruah.

Jumlah mahasiswa yang mendaftar membeludak sepanjang tahun.

Kapasitas mahasiswa sudah tidak sebanding dengan ketersediaan ruangan kuliah.

Daya pikat kuliah di UIN semakian menggeliat.

Prestasi dari mahasiswanya tak kalah hebat untuk unjuk skill, bukan hanya di ajang nasional, tetapi juga level internasional.

Jumlah magister, doktor, dan profesor, menunjukkan grafik yang sangat baik setiap tahun

Kampus peradaban yang menjadi dambaan bersama –bukan saja menjadi asa civitas akademika yang sehari-hari bergelut di kampus Samata--, tetapi juga para alumninya yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke bahkan di luar negeri.

Di level nasional, tak sedikit alumninya duduk pada jabatan penting dan strategis, bahkan beberapa di antaranya menjadi menteri atau wakil menteri.

Kampus peradaban dibangun dengan nilai-nilai akhlak tinggi.

Kita memiliki senses of responsibility yang kuat, komitmen terintegrasi antara cita-cita, harapan, dan fakta di lapangan.

Keikhlasan dan kolaborasi semua pihak dalam membangun UINAM sejatinya dapat dirasakan semua elemen masyarakat kampus dan para alumninya.

Itu sebab, tak pantas jika potensi SDM yang besar itu hanya jadi penonton karena tidak terlibat atau dilibatkan.

Jabatan tentu terbatas, sehingga mesti memanfaatkan berbagai warna serta latar belakang SDM yang ada agar roda organisasi bisa berputar maksimal.

Gagasan Identitas Lokal

Profesor Mustari Mustafa dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat UINAM, 2 Juli lalu, seakan mengiterupsi civitas akademika UINAM.

Dia menyerukan pentingnya kembali menengok ketokohan Sultan Alauddin yang disematkan pada Universitas Islam Negeri terbesar di Sulsel itu.

Menurutnya, Raja ke-14 Gowa itu, punya setidaknya lima sikap ilmiah yang harus menjadi nilai-nilai dasar proses belajar mengajar di UINAM.

Sultan Alauddin menjadi raja pertama yang memeluk Islam dengan nama I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang berkuasa dari tahun 1593 hingga 15 Juni 1639 itu, punya sikap rasional, reseptif, adaptif dan dialogis, dan kesadaran kritis.

Dari sini tampak kalau bukan hanya acara pengukuhan spektakuler sepanjang IAIN/UIN Alauddin, karena berhasil menghadirkan banyak tokoh nasional dan lokal, tetapi juga gagasannya untuk mengaktualisasikan kembali kearifan lokal dalam mengembangkan UINAM ke depan.

Semangat local genius itu diharapkan pula dapat memantik prestasi UINAM yang dalam beberapa tahun terakhir, menurut versi Webometrics Ranking Web of Universities, tak lagi di-reken secara nasional sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) papan atas. Laporan webometrics Juli 2021 misalnya, tidak menempatkan UINAM dalam sepuluh besar peringkat PTKIN, bahkan kalah dari IAIN Kendari yang sebelumnya menjadi bagian dari IAIN Alauddin sebelum berdiri sendiri.

IAIN Kendari menempati posisi ke-5 PTKN terbaik se-Indonesia dan posisi ke-72 dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ini pukulan telak, tapi apakah UINAM merasakannya? Entahlah.

Nilai-nilai pemikiran Sultan Alauddin tersebut –seperti tertuang dalam pidato pengukuhannya berjudul Identitas Lokal dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi, merupakan kebutuhan yang amat relevan dengan pengembangan dan kemajuan UINAM saat ini.

Mustari menegaskan arti penting dari sikap Sultan Alauddin untuk menjadi bekal dan dapat digunakan manakala merasakan haus terhadap solusi di tengah kesempitan melanda.

Visi kampus peradaban yang selama ini dibangun untuk masyarakat, sejatinya berkarakter pada nilai-nilai keadaban perjuangan tokoh lokal yang telah menjadi identitas UINAM itu.

Maka nilai sejarah sekaligus spiritualitas Sultan Alauddin dapat diejawantahkan dengan spirit, keuletan, kebersamaan, kesabaran, kecintaan, dan kesungguhan yang penuh tangggung jawab.

Sultan Alauddin sejatinya menjadi ramuan bagi pengembangan dan kemajuan UINAM, tidak hanya sebagai lips service, atau menjadikan namanya sekadar pemanis, tetapi banyak civitas akademika UINAM bahkan tidak mengenalnya. Pemihakan secara serius identitas lokal, menjadi indikator mendesak sekaligus strategis bagi pengembangan UINAM ke depan agar makin eksis, berdedikasi, berprestasi, dan berpengaruh tidak hanya secara nasional tapi juga di dunia internasional.

Apresiasi kepada tokoh Sultan Alauddin, tentu menjadi inspirasi kepada kita untuk mewujudkannya dalam bentuk kurikulum Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).

Hal ini sebagai manifestasi bahwa kita benar-benar berusaha menegaskan, meneguhkan, menguatkan, serta menggali nilai-nilai pemikiran Sultan Alauddin.

Selain itu, embrio dari wujud kampus peradaban adalah membangun new paradigm, new vision, moderasi sistem yang lebih profesional, menjadikan otokritik sebagai bahan introspeksi, berbenah, dan berubah menuju kampus peradaban.

UINAM akan terus maju jika kita kerja bersama, bersama-sama.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved