Opini Muliaty Mastura Yusuf
UINAM dan Identitas Lokal
Universitas Islam Negeri Alauddin atau popular disebut dengan singkatan UINAM, lahir pada 10 November 1965.
Kampus peradaban yang menjadi dambaan bersama –bukan saja menjadi asa civitas akademika yang sehari-hari bergelut di kampus Samata--, tetapi juga para alumninya yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke bahkan di luar negeri.
Di level nasional, tak sedikit alumninya duduk pada jabatan penting dan strategis, bahkan beberapa di antaranya menjadi menteri atau wakil menteri.
Kampus peradaban dibangun dengan nilai-nilai akhlak tinggi.
Kita memiliki senses of responsibility yang kuat, komitmen terintegrasi antara cita-cita, harapan, dan fakta di lapangan.
Keikhlasan dan kolaborasi semua pihak dalam membangun UINAM sejatinya dapat dirasakan semua elemen masyarakat kampus dan para alumninya.
Itu sebab, tak pantas jika potensi SDM yang besar itu hanya jadi penonton karena tidak terlibat atau dilibatkan.
Jabatan tentu terbatas, sehingga mesti memanfaatkan berbagai warna serta latar belakang SDM yang ada agar roda organisasi bisa berputar maksimal.
Gagasan Identitas Lokal
Profesor Mustari Mustafa dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat UINAM, 2 Juli lalu, seakan mengiterupsi civitas akademika UINAM.
Dia menyerukan pentingnya kembali menengok ketokohan Sultan Alauddin yang disematkan pada Universitas Islam Negeri terbesar di Sulsel itu.
Menurutnya, Raja ke-14 Gowa itu, punya setidaknya lima sikap ilmiah yang harus menjadi nilai-nilai dasar proses belajar mengajar di UINAM.
Sultan Alauddin menjadi raja pertama yang memeluk Islam dengan nama I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang berkuasa dari tahun 1593 hingga 15 Juni 1639 itu, punya sikap rasional, reseptif, adaptif dan dialogis, dan kesadaran kritis.
Dari sini tampak kalau bukan hanya acara pengukuhan spektakuler sepanjang IAIN/UIN Alauddin, karena berhasil menghadirkan banyak tokoh nasional dan lokal, tetapi juga gagasannya untuk mengaktualisasikan kembali kearifan lokal dalam mengembangkan UINAM ke depan.
Semangat local genius itu diharapkan pula dapat memantik prestasi UINAM yang dalam beberapa tahun terakhir, menurut versi Webometrics Ranking Web of Universities, tak lagi di-reken secara nasional sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) papan atas. Laporan webometrics Juli 2021 misalnya, tidak menempatkan UINAM dalam sepuluh besar peringkat PTKIN, bahkan kalah dari IAIN Kendari yang sebelumnya menjadi bagian dari IAIN Alauddin sebelum berdiri sendiri.
IAIN Kendari menempati posisi ke-5 PTKN terbaik se-Indonesia dan posisi ke-72 dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ini pukulan telak, tapi apakah UINAM merasakannya? Entahlah.