Opini Zulfikarnain
Bisakah Pemilih Berdaulat?
Rakyat indonesia sudah menikmati 23 tahun masa reformasi, tentu angka tersebut dikategorikan usia ‘dewasa’.
Zulfikarnain
SG JPPR Nasional 2017-2019
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Rakyat indonesia sudah menikmati 23 tahun masa reformasi, tentu angka tersebut dikategorikan usia ‘dewasa’.
Begitu juga dalam hal politik dan pemilu, rakyat sudah melewati berbagai macam momentum pemilihan demokrasi liberal, dimana sirkulasi elit bergantung dari suara pemilih di bilik TPS.
23 tahun sudah lamanya rakyat terdidik oleh perhelatan pemilihan, mulai dari pilpres, pileg, pilgub, pilbup, hingga pilkades, bahkan pemilihan RT/RW.
Semua momentum politik itu dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung, dimana suara seorang tukang becak setara dengan suara seorang profesor, masing-masing dihitung satu.
Lalu, pada ujungnya, suara-suara itu diakumulasikan dalam rekapitulasi berjenjang, untuk mengetahui siapa kandidat yang memiliki suara terbanyak.
Terakhir, bagi kandidat yang memiliki suara terbanyak, maka layak melenggong untuk dilantik sebagai pemimpin atau wakil rakyat.
Tapi dalam situasi tersebut, benarkah pemilih berdaulat secara penuh?
Pada tahun 2014, penulis bersama JPPR Sulsel dan Lapar Sulsel pernah melakukan jajak pendapat terkait persepsi rakyat tentang pemilu.
Dari 400 responden di Makassar, Gowa, dan Jeneponto, kata yang paling banyak disebutkan oleh responden pertama kali adalah uang.
Dari jajak pendapat itu, ditemukan bahwa rakyat cenderung mempersepsikan pemilu dengan kata uang.
Sejatinya pemilu era reformasi, bahkan era orde lama, rakyat sudah terlibat sebagai pemilih.
Meski dalam berbagai literasi, terutama masa orde baru, menyebutkan keterlibatan masyarakat dianggap pasif, karena hanya sekedar menjadi pemilih yang diwajibkan memilih, bukannya dianggap sebagai hak dasar manusia.
Bahkan di era reformasi pun, sejak tahun 1999 hingga pemilu 2019, rakyat belum sepenuhnya bisa beranjak dari pemilih pasif menjadi pemilih aktif.
Malahan, pemilu era reformasi pada tahun 2004, perilaku politik uang massif terjadi.
Suatu praktek kecurangan yang minim terjadi di orba (karena pemilu orba lebih didominasi oleh intimidasi ketimbang politik uang).
Uang dan pemilu seolah dua idiom yang melekat pekat di nalar rakyat.
Itu terjadi berkat rakyat merekam dengan seksama perilaku elit dan oknum penyelenggara yang memperlihatkan dengan telanjang praktik kecurangan.
Rakyat lantas membentuk persepsi sendiri melalui pencandraan mereka terhadap praktik proses pemilu.
Sehingga persepsi masyarakat terhadap pemilu lebih banyak ke arah negatif ketimbang positif.
Tantangan dari tahun ke tahun, baik itu penyelenggara pemilu, aktivis pemilu bahkan parpol, serta pemerintah adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap substansi pemilu, di saat yang sama pula, para oknum dari berbagai dimensi sosial itu mempraktekkan dan memanipulasi pemilu.
Maka suara pesimis terhadap pemilu yang berintegritas pun selalu muncul.
Kedaulatan Pemilih
Pemilih dalam tiap momentum pemilu kerap dipandang objek. Baik itu oleh parpol, penyelenggara, maupun pemerintah.
Pemilih dipandang sebagai orang yang perlu disadarkan, disosialisasikan, bahkan diajarkan tentang pemilu.
Padahal selama ini, persepsi negatif penyelenggaraan pemilu itu lahir dari pengamatan atas perlakuan oknum instansi tersebut.
Rakyat tak boleh dipandang sebagai objek, melainkan subjek yang perlu untuk mengkonsolidasikan diri menjadi pemilih berdaulat.
Terdengar sangat utopis, tetapi kenyataannya begitu. Gerakan itu mesti dibangun dari dalam, bukan dari luar pemilih.
Posisi pihak luar, dalam hal ini pemerintah, penyelenggara, dan parpol hanya memantik gerakan itu menguat. Pada ujungnya, pemilih yang berdaulat adalah kunci dari pemilu yang berintegritas.
Dalam kepemiluan di Indonesia, pemilih dapat diklasifikasikan ke beberapa varian. Pertama pemilih pragmatis, adalah pemilih yang menjatuhkan pilihan politik yang bergantung dengan hasil transaksional materil dan/atau non materil.
Kedua pemilih apatis, yaitu sikap pemilih yang tidak percaya terhadap pemilu sebagai sarana pergantian kekuasaan yang demokratis, lalu berujung menjadi golongan putih (golput). Sikap apatis, bisa juga muncul dari ideologi yang mempengaruhi tindakan politik atau ketidakpercayaan terhadap peserta atau penyelenggara yang dianggap tidak bisa bekerja dengan asas bebas, langsung, jujur dan adil.
Ketiga, pemilih sosiologis, yaitu sikap pemilih yang memilih kandidat berdasarkan agama, ras, etnis, bahkan aspek kekeluargaan.
Sehingga cenderung mengabaikan nilai visi-misi partai politik ataupun kandidat presiden, gubernur atau walikota/bupati. Keempat, pemilih rasional, teori pilihan rasional diperkenalkan pertama kali oleh Anthony Downs.
Menurutnya, pemilih rasional adalah pemilih yang mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan orang lain. Ia mengklasifikasi kandidat dengan berbagai pertimbangan material, lalu menjatuhkan pilihan pada kandidat yang lebih dapat menguntungkan pribadinya, secara program, visi maupun personal.
Pilihan rasional mengenyampingkan aspek sosiologis maupun patron partai politik, tergantung pada keuntungan pribadi si pemilih rasional.
Lalu, kelima pemilih ideologis, adalah mendahulukan aspek konsep, tatanan ideal dan visi kandidat/parpol dalam menentukan pilihan. Klasifikasi dilakukan untuk menimbang pilihan yang sesuai konsep ideal individu yang akan memilih.
Demokrasi Post-tradisionalis
Postra adalah diskursus yang lahir dari kegelisahan kaum intelektual yang pada masa orde baru disebut kaum tradisionalis.
Pada masa itu, mereka dianggap rendahan, kampungan, terbelakang dan cenderung diposisikan sebagai sub kultur atau subaltern.
Wacana Postra muncul dari ketegangan dikotomi antara narasi tradisional dan modernis.
Berdebat dengan narasi modern, yang merupakan kebalikan dari definisi tradisionalis.
Postra berbentuk 2 hal, pertama dia menggambarkan situasi, karakteristik atas realitas sosial masyarakat pasca kolonial. Kedua sebagai cara pandang baru, titik balik, bahkan subversif atas hal di atas.
Postra menunjukkan ambiguitas masyarakat modern yang ‘bermimpi’ menjadi rasional, empiris dan positivistik.
Di satu sisi, belum bisa meninggalkan sepenuhnya mentalitas yang mereka sebut tradisionalis (tahayul). Sehingga yang terjadi malah munculnya orang-orang modern tetapi di satu sisi masih bermentalitas gaib dan metafisis.
Misal perkara sampah di Kota Makassar, beberapa warga kerap menumpuk sampahnya di lorong, meski itu adalah tanah bertuan. Sehingga sang tuan rumah kadang marah dan memasang imbauan dan ancaman pidana bagi pembuang sampah di tanahnya.
Tetapi itu tak mampu menghalangi tabiat sang pembuang sampah. Lalu di satu sisi, ada pula pemilik tanah yang membuat himbauan dalam spanduk di luar dari aspek rasionalitas. Seperti “cabutlah nyawa jika ada membuang sampah di sini ya Allah”.
Justru imbauan ‘arah langit’ lebih mempan ketimbang imbauan pidana. Seperti itulah corak berpikir kaum post-tradisional.
Nah, pola berpikir ini juga merembes ke dalam penerapan sistem demokrasi.
Dalam demokrasi, dikenal istilah budaya pemilih, Almond dan Verba (1984: 14) mendefinisikan budaya politik sebagai “Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut”.
Sikap khas mentalitas masyarakat indonesia yang bercorak postradisional merasuki penerapan demokrasi, terkhusus dalam pemilu raya dan pemilu lokal (pilkada).
Sehingga imajinasi kaum pemikir demokrasi yang membayangkan kontestasi pesta demokrasi pemilu dengan budaya pemilih yang ideologis dan rasional sulit tercapai.
Bahkan persentase pemilih dengan tipologi rasional dan ideologis berjumlah kecil.
Malah yang mendominasi adalah tipologi pemilih sosiologis bahkan ke arah irasional. Sehingga demokrasi dalam konteks lokal justru memapankan pola feodalisme.
Itulah yang penulis sebut sebagai demokrasi postradisional.
Padahal di Eropa sana, demokrasi adalah lanjutan dari kesejarahan masyarakat eropa, dari feodalisme, dimana kepemimpinan dari ‘darah biru’, ke arah demokrasi.
Dimana semua subjek manusia bebas untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
Dalam corak demokrasi postradisional, cita-cita demokrasi mesti senggama dengan lokalitas. Karena perkawinan ini tak bisa dipisah-pisahkan, dihindarkan.
Karena sejatinya demokrasi dari aras lokal sejak jaman dahulu telah tumbuh dengan judul-judul yang berbeda.
Cita-cita demokrasi, dengan asas keadilan dan partisipasi, mesti sejalan dengan visi nilai lokalitas yang menjunjung tinggi pendidikan karakter dan identitas kebangsaan.
Mirip dengan penyebaran islam di nusantara, yang mengawinkan nilai keislaman dan budaya, dengan dasar Kaidah fiqih al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah (Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Lalu apa?
Telah dipaparkan di atas, bagaimana skema kebudayaan masyarakat indonesia turut mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu maupun pemilu lokal (pilkada).
Untuk itu desain menuju pemilih yang berdaulat, dapat dilakukan dengan menerjemahkan, memahami, lalu mengembangkan alat kebudayaan untuk turut mengintervensi perilaku pemilih ke arah demokrasi yang terkonsolidasi.
Nalar orang modern nan Eropa sentris dalam kajian Postradisionalisme dianggap gagal membentuk peradaban seperti negara modern.
Lantaran negara maju semisal negara-negara eropa, membentuk modernitasnya tanpa melepas dinamika kesejarahannya.
Sementara kaum sarjana yang terdidik dengan nalar eropa gagap memandang lokalitas kebudayaan, malah kebudayaan lokal dianggap sinis, ditaklukkan, lalu dipinggirkan.
Seolah lokalitas bukan puzzle yang turut membentuk peradaban maju.
Untuk itu gerak menuju demokrasi yang terkonsolidasi dalam aras lokal mesti dikembangbiakkan bergerak bersama dengan nilai kebudayaan.
Misal praktik demokrasi dalam adat dan budaya Bugis-makassar-toraja mesti turut difasilitasi dalam model pengembangan demokrasi lokal.
Karena pada ujungnya demokrasi hanyalah jalan, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakat.