Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Zulfikarnain

Bisakah Pemilih Berdaulat?

Rakyat indonesia sudah menikmati 23 tahun masa reformasi, tentu angka tersebut dikategorikan usia ‘dewasa’.

Zulfikarnain
Zulfikarnain, SG JPPR Nasional 2017-2019 

Tetapi itu tak mampu menghalangi tabiat sang pembuang sampah. Lalu di satu sisi, ada pula pemilik tanah yang membuat himbauan dalam spanduk di luar dari aspek rasionalitas. Seperti “cabutlah nyawa jika ada membuang sampah di sini ya Allah”.

Justru imbauan ‘arah langit’ lebih mempan ketimbang imbauan pidana. Seperti itulah corak berpikir kaum post-tradisional. 

Nah, pola berpikir ini juga merembes ke dalam penerapan sistem demokrasi.

Dalam demokrasi, dikenal istilah budaya pemilih, Almond dan Verba (1984: 14) mendefinisikan budaya politik sebagai “Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut”.

Sikap khas mentalitas masyarakat indonesia yang bercorak postradisional merasuki penerapan demokrasi, terkhusus dalam pemilu raya dan pemilu lokal (pilkada).

Sehingga imajinasi kaum pemikir demokrasi yang membayangkan kontestasi pesta demokrasi pemilu dengan budaya pemilih yang ideologis dan rasional sulit tercapai.

Bahkan persentase pemilih dengan tipologi rasional dan ideologis berjumlah kecil.

Malah yang mendominasi adalah tipologi pemilih sosiologis bahkan ke arah irasional. Sehingga demokrasi dalam konteks lokal justru memapankan pola feodalisme.

Itulah yang penulis sebut sebagai demokrasi postradisional.

Padahal di Eropa sana, demokrasi adalah lanjutan dari kesejarahan masyarakat eropa, dari feodalisme, dimana kepemimpinan dari ‘darah biru’, ke arah demokrasi.

Dimana semua subjek manusia bebas untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.

Dalam corak demokrasi postradisional, cita-cita demokrasi mesti senggama dengan lokalitas. Karena perkawinan ini tak bisa dipisah-pisahkan, dihindarkan.

Karena sejatinya demokrasi dari aras lokal sejak jaman dahulu telah tumbuh dengan judul-judul yang berbeda.

Cita-cita demokrasi, dengan asas keadilan dan partisipasi, mesti sejalan dengan visi nilai lokalitas yang menjunjung tinggi pendidikan karakter dan identitas kebangsaan.

Mirip dengan penyebaran islam di nusantara, yang mengawinkan nilai keislaman dan budaya, dengan dasar Kaidah fiqih al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah (Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Lalu apa?

Telah dipaparkan di atas, bagaimana skema kebudayaan masyarakat indonesia turut mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu maupun pemilu lokal (pilkada).

Untuk itu desain menuju pemilih yang berdaulat, dapat dilakukan dengan menerjemahkan, memahami, lalu mengembangkan alat kebudayaan untuk turut mengintervensi perilaku pemilih ke arah demokrasi yang terkonsolidasi.

Nalar orang modern nan Eropa sentris dalam kajian Postradisionalisme dianggap gagal membentuk peradaban seperti negara modern.

Lantaran negara maju semisal negara-negara eropa, membentuk modernitasnya tanpa melepas dinamika kesejarahannya.

Sementara kaum sarjana yang terdidik dengan nalar eropa gagap memandang lokalitas kebudayaan, malah kebudayaan lokal dianggap sinis, ditaklukkan, lalu dipinggirkan.

Seolah lokalitas bukan puzzle yang turut membentuk peradaban maju.

Untuk itu gerak menuju demokrasi yang terkonsolidasi dalam aras lokal mesti dikembangbiakkan bergerak bersama dengan nilai kebudayaan.

Misal praktik demokrasi dalam adat dan budaya Bugis-makassar-toraja mesti turut difasilitasi dalam model pengembangan demokrasi lokal.

Karena pada ujungnya demokrasi hanyalah jalan, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved