Opini Tribun Timur
Homo Ludens, PSM dan Teori Telapak Kaki
Pada dasarnya manusia adalah pemain dan menyukai permainan. Demikian kata sejarawan asal Belanda, Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens.
Arlin
Guru di Kota Parepare dan Suporter PSM Makassar
Pada dasarnya manusia adalah pemain dan menyukai permainan. Demikian kata sejarawan asal Belanda, Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens.
Dalam buku tersebut, Huizinga mencoba melacak sejarah ribuan tahun lalu untuk mebuktikan bahwa salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia adalah permainan.
Huizinga bahkan menganggap bermain lebih tua daripada budaya, sebab budaya selalu dikaitkan dengan manusia.
Sementara itu, hewan tidak menunggu manusia untuk mengajarinya bermain.
Selain itu, Huizinga juga mengkiritik orang-orang yang mengabaikan permainan. Bagi Huizinga, bermain sama pentingnya dengan aktivitas berpikir dan bekerja.
Bermain bukan hanya sekadar sebuah aktivitas. Huizinga bahkan mengatakan bahwa salah satu sumber peradaban manusia adalah permainan.
Budaya, hukum, seni, hingga politik, beririsan dengan permainan. Di setiap permainan, selalu ada makna, aturan, dan selalu ada spirit akan kebebasan di dalamnya.
Salah satu permainan yang banyak dikaitkan dengan Homo Ludens adalah sepak bola.
Permainan ini dianggap sarat akan makna, spirit, dan juga kebebasan. Hingga kini, sepak bola menjadi pemainan (olahraga) yang paling digemari masyarakat.
Kecintaan terhadap sepak bola ini muncul dan tumbuh dari kota-kota besar, hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia.
Di Sulawesi Selatan, klub bola dengan basis suporter terbesar adalah PSM Makassar.
Hanya saja, kecintaan masyarakat kepada PSM kini sedang diuji.
Bagaimana tidak, penantian tiga tahun suporter untuk menyaksikan PSM berlaga di kandang, berhadapan dengan realitas bahwa tak ada stadion yang layak untuk PSM di Kota Makassar.
Ironis memang jika melihat apa yang dialami PSM. Sebuah klub besar, dengan kejayaan dan sejarah panjang, tetapi tidak memliki “rumah” di kota sendiri.
Padahal, slogan kota yang melekat pada nama klub itu adalah “Makassar Kota Dunia”.
Bagaimana membayangkan kota dunia tanpa stadion yang layak untuk klub kebanggaan bermain?
Di tengah aktivitas masyarakat kota yang semakin sibuk, pekerjaan yang semakin padat, dedline yang semakin mengepung, masyarakat jelas butuh bermain.
Dan salah satu permainan terbaik masyarakat adalah menyaksikan tim kebanggan di stadion.
Sebenarnya, memliki stadion yang layak, bukan hanya menyelamatkan sebuah klub, tetapi menyelamatkan masyarakat dari kerinduan untuk bermain sebagaimana hakikat homo ludens.
Beruntung bahwa semangat dan spirit homo ludens masyarakat Sulawesi Selatan, terutama terhadap sepak bola dan PSM Makassar, diselamatkan oleh orang-orang baik.
Orang itu ialah Munafri Arifuddin (Appi) selaku Ceo PSM Makassar dan Taufan Pawe sebagai Walikota Parepare.
Bersama dengan jajaran dan sponsor, mereka menggerakkan seluruh daya untuk memfasilitasi kerinduan suporter PSM dengan menggelar laga PSM Makassar vs Sulut United.
Di belakang layar, terdengar suara-suara sumbang bahwa semua ini karena ada kepentingan politik.
Tetapi bukankah segala persoalan hidup manusia pada dasarnya adalah persoalan politik.
Memilih untuk mencintai PSM adalah sebuah pilihan politik, dan memilih untuk mengabaikan PSM juga pilihan politik.
Bahkan, memilih untuk hadir di stadion atau hanya sekadar duduk di depan tv saat PSM bertanding, bisa dikatakan juga sebagai sebuah tindakan politik.
Politik selalu melingkupi kehidupan kita, bergantu pada sudut pandang apa yang kita gunakan.
Terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti bahwa Appi dan Taufan Pawe cinta sepak bola dan mencintai PSM Makassar.
Hal inilah yang membuat mereka mengeluarkan segala daya untuk memuaskan dahaga suporter mendukung langsung PSM di tanah Sulawesi.
Kecintaan dan kepedulian itulah yang dibutuhkan suporter, bukan yang lain.
Hal lain yang menarik untuk ditilik dari usaha Taufan Pawe untuk menjadikan Parepare sebagai kandang PSM adalah visinya sebagai seorang pemerintah daerah.
Sejak menjabat sebagai walikota Parepare, salah satu gagasan menarik dari Taufan Pawe adalah “Teori Telapak Kaki”.
Secara sederhana, teori telapak kaki bermakna: semakin banyak orang menappakkan kaki di sebuah kota, maka akan semakin maju kota itu.
Tapak kaki atau kunjungan diyakini Taufan berimplikasi positif terhadap kemajuan ekonomi suatu daerah.
Kemajuan ekonomi suatu daerah, tentu saja muarahnya adalah kesejahteraan masyarakat.
Jadi, selain kecintaan, usaha Taufan Pawe menjadikan Gelora BJ Habibie (GBH), Parepare, sebagai kandang PSM Makassar, adalah upaya mewujudkan teori telapak kaki itu.
Ibarat kata, sekali mendayung, dua pulau terlampaui: mewujudkan kecintaannya terhadap PSM, sekaligus mendorong perekonomian daerah.
Langkah itu semakin menunjukkan titik terang jika melihat apa yang terjadi pada laga persahabatan PSM vs Sulut United.
Sepuluh ribu tiket ludes terjual, suporter datang dari seluruh penjuru kota, GBH seketika berubah menjadi lautan manusia.
Fenomen ini tentu tidak perluh dipertanyakan lagi, sebab, “seseorang mungkin saja mengkhianati kekasihnya, tetapi tidak akan pernah bisa mengkhianati klub kesayangannya”. Ewako!