Opini Abdul Gafar
Hidayah
Setiap manusia dalam aktivitas kehidupannya selalu mengharapkan dirinya berada dalam jalur dan koridor yang benar.
Hidayah
Oleh: Abdul Gafar
Dosen Purnabakti Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap manusia dalam aktivitas kehidupannya selalu mengharapkan dirinya berada dalam jalur dan koridor yang benar.
Namun dalam kenyataan melakoni kehidupan tersebut, tidak sedikit yang tergelincir dan terperangkap dalam lobang kesalahan.
Dunia dengan segala isinya memang penuh dengan godaan dan rayuan yang sangat menggiurkan.
Kesalahan kita dalam menanggapi godaan dan rayuan tersebut membawa konsekuensi yang akan menyulitkan kita kelak.
Untuk hal ini sudah terbukti banyak yang menjadi saksi kehidupan dalam sejarah kemanusiaan yang terukir dalam lembaran sejarah.
Situasi pandemik covid-19 mulai redup dalam berbagai pemberitaan di media massa.
Di negeri ini pelonggaran yang berkaitan dengan covid-19 semakin terasa di mana-mana. Bahkan penggunaan masker di tempat-tempat tertentu tidak lagi menjadi persyaratan mutlak bagi setiap warganegara.
Presiden Joko Widodo pun turut memberikan kesempatan menyangkut pelonggaran pemakaian masker melalui tayangan media massa. Semua ada waktunya. Semoga akan berlalu.
Kehadiran covid -19 di tanah air telah menghabiskan anggaran yang jumlahnya lumayan fantastis. Korban yang dinyatakan meninggal terkait dengan covid-19 pun tidak sedikit jumlahnya.
Termasuk tenaga kesehatan yang menangani covid-19 terikut menjadi korbannya.
Terselamatkan nyawanya jauh lebih banyak. Masyarakat terpecah dalam pemahaman, pengalaman, dan pencerahan bahwa : “covid-19 antara ada dan tiada !”
Kita mengharapkan dalam hidup ini selalu mendaptkan hidayah ataupun petunjuk agar selalu berada dalam bimbingan Allah SWT.
Bagi seorang yang mengaku muslim, setidaknya minimal 17 kali sehari-semalam sebagaimana tercantum surat Al Fatihah meminta agar selalu “tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Jalan lurus yang dimaksud adalah "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Di masjid tempat penulis biasa shalat, setiap ahad subuh dilakukan pengkajian berdasarkan Quran dan hadis nabi yang shahih dipandu oleh Ustadz Sanusi.
Ustadz ini cukup lama bermukim di timur tengah menimba ilmu keagamaan.
Persoalan-persoalan kemanusiaan berkaitan dengan diri, kelompok hingga membahas tentang masalah kenegaraan menjadi objek pembicaraan dalam tinjauan quran dan hadis.
Kajian kemarin menyangkut tentang bagaimana hidayah itu dapat diterima atau terhalangi karena perbuatan kita sendiri. Setidaknya ada 3 hal yang menghalangi hidayah itu. Ketiga hal itu adalah (1). Keangkuhan, (2). Kemarahan, dan ((3). Dendam.
Keangkuhan telah menjadikan dunia ini berantakan di mana-mana. Sikap angkuh karena adanya posisi tertentu membuat seseorang dapat saja bertindak sewenang-wenang. Pangkat, jabatan, pendidikan, kekuasaan, dan atribut lainnya dapat menjadi pemicu seseorang menjadi angkuh. Sekelompok rombongan ‘orang terhormat’ dapat memacetkan jalan raya akibat karena mereka akan melintas di situ. Mereka wajib lewat tanpa hambatan, yang lain boleh menunggu sesudahnya.
Karena jabatan yang tersandang, mobil ambulance pun harus ‘minggir’ tersenggol oleh rombongan pejabat yang akan lewat. Kapan kita akan memulai pejabat yang lewat akan mematuhi prosedur yang ada tanpa berlebihan pengamanannya ? Kalau negara aman, tidak butuh pengamanan yang sangat ketat. Biasa-biasa sajalah.
Kemarahan juga telah turut mewarnai perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ketika marah telah menjadi bagian ritual dari masyarakat, maka tunggulah kerusakan. Begitu pula jika kemarahan menjadi milik dari aparat, rasakan juga kerusakan. Oleh karena itu, kemarahan mesti dikendalikan agar tidak berkelanjutan.
Terakhir, jangan biarkan dendam itu terus membara dan membakar. Hanguslah semua yang telah dibangun akibat dendam kesumat. (*)