Inspirasi Ramadhan 2022 Hamdan Juhannis
Indra Keberagamaan 27: Takdir Okkots
Sebagai pembanding, silakan mendengar orang Vietnam atau orang Jepang berbahasa Inggris, Anda akan memahami argumen saya.
Berbeda tentunya sekiranya dari kecil saya belajar berbicara dalam Bahasa Indonesia, atau hidup di kota yang tidak tersentuh oleh pengaruh bahasa lokal saya.
Tapi yang ingin saya bentangkan adalah kesalahan menulis "lantung" yang seharusnya "lantun" adalah pelajaran kecil tapi bermakna.
Manusia setiap saat bisa membuat kesalahan yang sejatinya juga menjadi peringatan baginya.
Baru beberapa hari lalu, saya mendapat pujian dari seorang teman yang menganggap saya fokus dalam menulis celoteh karena bisa menghindari banyak kesalahan mengetik atau "typo" termasuk kesalahan khas orang Makassar dalam menulis kata.
Pujian itu saya nikmati betul dan menimbulkan rasa menyukai diri, atau lebih lugasnya, rasa sombong.
Saya tiba-tiba merasa sombong sudah memiliki kemampuan melepaskan diri dari jeratan " okkots ".
Rupanya tidak butuh beberapa lama untuk ditunjukkan kembali melalui masukan pembaca bahwa saya tidak bisa melepaskan diri dari takdir okkots.
Belum lagi teman-teman Montreallers (eks penduduk Kota Montreal) yang juga dengan penuh canda mengajarkan saya tata bahasa pada celoteh saya yang lain; "merubah" asal katanya "ubah" yang ditimpali oleh yang lain, bahwa kalau asal katanya "rubah" itu nama binatang. Jadi yang benar adalah "mengubah".
Artinya, sungguh banyak kesalahan, dan itu sifat dasar manusia sebagai tempatnya khilaf, karenanya jangan pernah ada upaya setitik pun untuk bersombong-ria, pada hal yang kecil sekalipun.
Yah, sambil menjadikannya pelajaran, saya merespon semua kritik itu dengan canda juga.
Anggaplah itu sebagai kekhasan orang Makassar yang patut diapresiasi dan dipelihara.
Anggaplah bagian dari kekayaan berbahasa kita sebagai bangsa besar.
Terimalah kalau itu adalah wujud dari "takdir berbahasa", bukan semata karena "salah ucat", maksud saya, "salah omon", eh salah lagi!(*)