Citizen Reporter
Indahnya 15 Jam Puasa Ramadhan Bersama Keluarga Non-Muslim di New York
Tak ada suara azan berkumandang, bedug sahur, takjil pinggir jalan, atau berjalan kaki ke masjid bersama keluarga untuk melaksanakan shalat tarawih
Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
Andi Al Amanda Ismarani Divanthy
Siswi SMAN 21 Makassar dan Peserta Program Kennedy Lugar Youth Exchange and Study (KL-YES)
Melaporkan dari New York, Amerika Serikat
TAHUN ini Ramadan terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Tak ada suara azan berkumandang, bedug sahur, takjil pinggir jalan, atau berjalan kaki ke masjid bersama keluarga untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah.
Tahun ini alarm lah yang bertugas menjadi bedug sahur.
Sahur seorang diri yang sesekali ditemani oleh suara rintik hujan di bulan April, di Amerika Serikat.
Saya salah satu dari 80 siswa SMA dari seluruh Indonesia yang berkesempatan mendapatkan beasiswa penuh dalam Program Kennedy Lugas Youth Exchange and Study (KL-YES) program oleh Bina Antarbudaya yang disponsori Pemerintah AS untuk bersekolah selama satu tahun di AS.
Saya tinggal di Horseheads, Upstate New York yang di bulan April sering hujan, bahkan sesekali masih salju.
Saya bersekolah di Horseheads High School dan tinggal di rumah keluarga angkat (host family), The Ringers.
Saat musim semi mendekati musim panas seperti sekarang ini, matahari terbit jam 5 pagi dan terbenam jam 8 malam di sini.
Jadi, puasa Ramadan kali ini menjadi 15 jam.
Apakah lebih susah dan lebih mudah lelah? Tidak juga.
Untungnya di sini cuaca masih dingin sehingga saya tidak mudah haus atau lapar.
Untuk membangunkan saya sebelum sahur, saya menyalakan alarm di ponsel.
Sementara, untuk berbuka puasa, saya biasanya makan malam bersama dengan keluarga angkat.
Setiap hari sekitar pukul 8 malam, saya, orang tua angkat serta anaknya, serta peserta program KL-YES lainnya dari Turki yang juga tinggal serumah sudah duduk di meja makan sambil menunggu adzan yang dapat kami ketahui dari aplikasi ponsel Muslim Pro.
Saya merasa beruntung tinggal dengan keluarga angkat yang walaupun tidak berpuasa, tapi rela menunda makan malam 2 jam agar kami semua bisa makan bersama.
Ayah angkatku merupakan keturunan Italia dan ia sangat pandai memasak.
Beliau biasa memasak untuk makanan kami berbuka puasa dalam porsi besar seperti lasagna, pasta, nasi dan ayam kari merah, kentang panggang, dan masih banyak lagi.
Tujuannya karena jika ada sisa, kami tinggal panaskan saja sebelum sahur.
Biasanya untuk sahur, saya juga suka membuat pancake, telur dadar, atau makanan yang mudah dibuat lainnya.
Saat Ramadan ini, kesibukan volunteering (kegiatan sukarela), kerja tugas, jalan sore, dan bersih-bersih pun kadang membuat saya lupa waktu.
Selama bulan Ramadan ini, saya mengikuti kegiatan volunteering dengan teman-teman di Interact Club, suatu klub yang diikuti pemuda untuk membantu sekolah atau komunitas dalam mempromosikan pemahaman internasional.
Salah satu kegiatan yang saya lakukan dengan teman-teman adalah membacakan buku untuk anak-anak di taman Kanak-kanak dan sekolah dasar.
Di daerah tempat tinggal saya, terdapat Islamic Association of the Finger Lakes, masjid di area New York Selatan.
Tiap hari Jumat dan Sabtu ada iftar (buka puasa) bersama di masjid tersebut.
Sayangnya, saya belum sempat mengunjungi masjid selama bulan ini karena kesibukan kegiatan lainnya.
Namun, di minggu akhir bulan Ramadan serta di hari Lebaran, saya dan beberapa teman Muslim berencana ke masjid tersebut.
Dari yang biasanya berpuasa 12 jam menjadi 15 jam, membuatku lebih mengerti apa makna Ramadan, entah seorang diri ataupun bersama orang-orang tersayang.
Dengan berpuasa di AS, saya juga banyak berbagi kepada teman-teman non-Muslim.
Mereka yang awalnya mungkin tak tahu sama sekali apa itu Ramadan menjadi mengerti tentang Ramadan dan menganggapnya menarik.
Ramadan kali ini benar-benar membuatku lebih kuat dan lebih menghayati makna puasa Ramadan sendiri.(*)
Baca berita menarik dan terbaru lainnya dari Tribun-Timur.com via Google Berita atau Google News.