Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Utang Indonesia

Terlilit Utang Hingga Rp 7.000 Triliun, Indonesia Bisa Senasib Sri Lanka? Ini Penjelasan Pengamat

Sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia juga memiliki utang yang jumlahnya tak kalah besar

Editor: Alfian
Kontan
Ilustrasi Opini - Membaca Arah Utang Indonesia 

TRIBUN-TIMUR.COM - Sri Lanka dinyatakan mengalami kebangkrutan usai terlilit utang.

Sri Lanka diberitakan tak mampu membayarkan utang tersebut.

Skema utang tentu tak hanya menjerat Sri Lanka.

Sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia juga memiliki utang yang jumlahnya tak kalah besar.

Dengan demikian, apakah Indonesia berpotensi mengalami kebangkrutan?

Simak penjelasan pengamat terkait potensi Indonesia bangkrut akibat utang lewat artikel lengkap di bawah ini.

Baca juga: Umumkan Negara Bangkrut, Seberapa Besar Jumlah Utang Sri Lanka kepada China?

Baca juga: Negara Sri Lanka Bangkrut karena Tak Bisa Bayar Utang Rp 732 Triliun, Ini Fakta-faktanya

Baca juga: Sri Lanka Umumkan Gagal Bayar Utang Rp732 Triliun, Inilah Daftar Negara Pemberi Utang

Dilansir dari Tribunnews.com, hingga akhir Februari 2022, posisi utang Pemerintah Indonesia sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Menurut laporan APBN Kita Maret 2022, ada lonjakan total utang pemerintah seiring dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman pada bulan Februari 2022.

Namun menurut pengamat ekonomi Piter Abdullah, nasib Indonesia tidak akan seperti Sri Lanka yang mengalami gagal bayar utang.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) ini mengatakan, meski sama-sama memiliki utang, tetapi kondisi utang Indonesia saat ini sangat jauh berbeda dengan Sri Lanka.

"Indonesia sangat hati-hati menjaga APBN dengan pertumbuhan utang yang terjaga setiap tahun, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen PDB (produk domestik bruto) setiap tahun, kecuali di masa pandemi," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (16/4/2022).

Menurutnya, total utang Indonesia juga masih dalam kategori aman karena di bawah batas 60 persen terhadap PDB, apalagi perekonomian masih memberikan pemasukan bagi negara dalam bentuk penerimaan ekspor maupun pajak.

"Jadi kondisi indonesia tidak bisa disamakan dengan Sri Lanka," ucap Piter.

"Saya berpandangan pemerintah terlalu hati-hati dalam pengelolaan utang.  Proporsi utang luar negeri juga semakin kecil. Ini sangat bagus dan harus terus dipertahankan," sambung Piter.

Gagal bayar

Sri Lanka saat ini mengalami default atau gagal membayar utang luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS atau sekitar Rp 732 triliun (asumsi Rp14.360 per dolar AS).

Hingga akhir Februari 2022, posisi utang Indonesia sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah didominasi instrumen SBN mencapai 87,88 persen dari seluruh komposisi utang per akhir Februari 2022, atau sebesar Rp 6.164,2 triliun.

Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi rupiah yakni 70,07 persen.

Kepemilikan SBN oleh investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen, hingga akhir 2021 mencapai 19,05 persen, dan per 15 Maret 2022 mencapai 18,15 persen.

Komposisi utang pinjaman dari pinjaman tercatat hanya 12,12 persen atau senilai Rp850,38 triliun.

Angka itu terdiri atas pinjaman dalam negeri Rp13,27 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 837,11 triliun.

Siasat Sri Mulyani

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengaku akan terus mengelola utang secara prudent. Dia akan menghitung/mengkalkulasi jumlah, tenor, dan komposisi mata uang dari penarikan utang lewat penerbitan obligasi pemerintah.

Beberapa langkah pengelolaan utang secara prudent pun sudah disiapkan, baik untuk tahun ini dan tahun depan.

Baca juga: Sri Lanka Umumkan Default Usai Gagal Bayar Utang Senilai Rp 732 Triliun

Langkah ini disiapkan untuk mencapai target konsolidasi fiskal menekan defisit di bawah 3 persen pada 2023.

Apa saja yang dilakukan pada tahun 2022?

Di tahun 2022, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini lebih dulu mengoptimalisasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun 2021 alih-alih menarik utang baru.

Selain itu, memanfaatkan skema kerja sama berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia (BI). Skema tanggung renteng itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III yang masih berlanjut hingga tahun 2022.

Sampai Februari 2022, BI telah membeli surat utang pemerintah Rp 8,76 triliun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) I, dengan rincian pembelian SUN Rp 6,06 triliun dan SBSN Rp 2,70 triliun.

Lewat skema-skema tersebut, penarikan utang pemerintah sudah susut sekitar Rp 100 triliun pada Maret 2022 dari target semula.

"Kami akan mengurangi issuance (penerbitan) utang dengan penggunaan SAL. Sampai Maret penurunan (penerbitan utang) Rp 100 triliun," sebut dia.

Sebelumnya, penarikan utang juga sudah turun 66,1 persen pada Februari 2022. Realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang di bulan itu sebesar Rp 92,9 triliun atau 9,5 persen dari target APBN Rp 973,6 triliun.

Pembiayaan menyusut dari Rp 273,8 triliun di Februari tahun 2021.

Secara lebih rinci, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto hingga Februari 2022 sebesar Rp 67,7 triliun atau 6,8 persen dari target Rp 991,3 triliun.

Penerbitannya -75,1 persen dari Rp 271,4 triliun di Februari 2021. Lalu, pinjaman neto mencapai Rp 25,2 triliun atau tumbuh 954,4 persen.

Menyusutnya pembiayaan utang berdampak positif kepada posisi imbal hasil (yield) di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Bagaimana pengelolaan utang RI di tahun depan?

Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI) ini menjelaskan kebijakan fiskal pada tahun 2023 juga akan difokuskan untuk pengelolaan utang.

Apalagi, ada ketidakpastian global dari sisi kenaikan inflasi di negara-negara maju yang berdampak pada pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed.

Pengetatan moneter ini mempengaruhi aliran modal asing dan yield (imbal hasil) SBN.

"Kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, maka dari sisi utang yang akan kita kelola, akan juga mengalami tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar. Ini yang harus kita pertimbangkan," ucap Sri Mulyani.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal 2023 terus fokus pada mendukung pemulihan ekonomi terutama program-program prioritas yang telah ditetapkan presiden, yakni membangun kualitas SDM, membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merevitalisasi industri, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hijau.

Di sisi lain, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, belanja negara, dan di bidang pembiayaan dengan membangun pembiayaan yang makin inovatif.

"Ini adalah bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap, namun tetap berhati-hati," ucapnya.

Secara rinci, pendapatan negara dipatok pada kisaran Rp 2.255,5 triliun hingga Rp 2.382,6 triliun untuk tahun 2023.

Porsi pendapatan negara itu mencapai 11,28 - 11,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) RI. Lalu, porsi belanja negara di kisaran Rp 2.818,1 triliun hingga Rp 2.979,3 triliun.

Besarannya setara dengan 14,09 hingga 14,71 persen dari PDB. Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sekitar Rp 2.017 triliun - Rp 2.152 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 800 - 826 triliun.

"Dengan belanja tersebut dan penerimaan yang tadi telah disampaikan defisit APBN tahun depan akan dirancang pada kisaran Rp 562,6 triliun, hingga Rp 596,7 triliun atau ini berarti 2,81 hingga 2,95 persen dari PDB," tandas Sri Mulyani.(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Utang RI Tembus Rp 7.000 Triliun, Ini Strategi Sri Mulyani Agar Indonesia Tak Seperti Sri Lanka, https://www.tribunnews.com/bisnis/2022/04/15/utang-ri-tembus-rp-7000-triliun-ini-strategi-sri-mulyani-agar-indonesia-tak-seperti-sri-lanka?page=all

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved