KPK
Dosen UMI Fahri Bachmid Jadi Ahli di Sidang Dugaan Korupsi 10 Mantan Anggota DPRD Muara Enim
Dosen Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid SH MH menjadi ahli dalam sidang tipikor dugaan korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Muara Enim.
TRIBUN-TIMUR.COM- Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr Fahri Bachmid SH MH menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas PUPR dan Pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2019.
Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (13/4/2022).
“Majelis hakim telah memeriksa serta menggali keterangan yang telah saya sampaikan dibawah sumpah pada persidangan yang terbuka untuk umum,” ujar Fahri Bachmid kepada Tribun, Jumat (15/4//2022).
Fahri Bachmid mengaku 10 orang terdakwa sekaligus mantan anggota DPRD Muara Enim periode 2014-2019 dan Periode 2019-2024 memintanya menjadi Ahli dalam perkara dengan Register No. 4/Pid.Sus-TPK/2022/PN Plg tanggal 07 Januari 2022.
Sementara itu, pihak Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hadir pada persidangan adalah Agung Satrio Wibowo, Muh Asri Irwan dkk.
Majelis Hakim kasus ini dipimpin oleh Efrata Happy Tarigan SH MH sebagai Ketua Majelis; Mangapul Manalu SH MH sebagai Hakim Anggota; dan Ardian Angga SH MH sebagai Hakim Anggota.
Baca juga: Jadi Narsum LK II Nasional HMI Makassar, Fahri Bachmid Soroti Isu Kontemporer Ketatanegaraan
Fahri menyampaikan pokok-pokok keterangannya di hadapan majelis hakim, berdasarkan desain hukum dalam konsep pemerintahan daerah, DPRD bukan merupakan organ penyelenggara negara sebagaimana dirumuskan dalam norma pasal 11 dan pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana rumusannya adalah
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”
Kemudian, secara yuridis sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, khususnya ketentuan Pasal 2 mengatur Penyelenggara Negara meliputi:
a. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
c. Menteri;
d. Gubernur;
e. Hakim;
f. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan;
g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara FH UMI Dr Fahri Bachmid Sebut Penundaan Pemilu Berbahaya
“Hal yang demikian telah ditegaskan dan diatur lebih lanjut dalam ketentuan pasal 122 UU No 5/2014 Tentang ASN. Sehingga dengan demikian DPRD secara teknis hukum tidak dapat digolongkan sebagai Penyelenggara Negara.
Tetapi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sesuai ketentuan norma pasal 148 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” papar Fahri.
Untuk diketahui, kasus yang menjerat 10 mantan anggota DPRD Muara Enim merupakan pengembangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Terpidana mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim Tahun 2019.
Kasus ini bermula dari OTT KPK terhadap Bupati Muara Enim Ahmad Yani, bersama Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupatan Muara Enim, Elfin MZ Muchtar, serta kontraktor bernama Robi Okta Fahlevi.
KPK menduga Yani dan Elfin menerima total Rp 12,5 miliar dari 16 paket proyek di Muara Enim dari Robi.(*)
Baca juga: Pakar Hukum UMI Fahri Bachmid: Pelarangan FPI Berujung Problematis, Idealnya Lalui Lembaga Peradilan
Baca juga: Pakar HTN Fahri Bachmid Sebut Pilkada 9 Desember Tidak Urgen