Opini Tribun Timur
Ramadan dan Pembuktian Cinta Hakiki
Suasana Ramadan tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya, walau pandemi belum sepenuhnya beranjak dari negeri tercinta.
Oleh: Dr Suryani Syahrir ST MT
Dosen dan Pemerhati Sosial
Suasana Ramadan tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya, walau pandemi belum sepenuhnya beranjak dari negeri tercinta.
Kemeriahannya pun sudah mulai terasa sebagaimana sebelum pandemi.
Namun, berbagai problem masih terus melanda di sudut-sudut ruang privasi rakyat kebanyakan.
Tersebab mahalnya beberapa komoditas pangan di tengah himpitan ekonomi. Pun, masalah sosial dan politik masih mewarnai rona kehidupan.
Bertemu dengan Ramadan adalah suatu kebahagiaan yang wajib disyukuri.
Bagaimana tidak, keutamaannya begitu istimewa dibandingkan 11 bulan lainnya. Setidaknya ada empat keistimewaan bulan Ramadan.
Pertama, di bulan ini ampunan Allah Swt. begitu luas. Kedua, berlipat gandanya pahala.
Ketiga, Allah Swt. membentengi kita dari godaan setan. Keempat, semua waktu (baik siang maupun malam) mempercepat terkabulnya do’a. Masyaallah.
Selanjutnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: “Tiga orang yang doanya tidak tertolak yakni imam/pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan do’a orang yang terzalimi.”
Hadis di atas menegaskan betapa istimewanya kedudukan orang yang berpuasa, terkhusus di bulan Ramadan.
Pertanyaanya adalah, puasa seperti apa yang bisa mengantarkan kita untuk mendapatkan keutamaan tersebut?
Tentu hal ini tidak hanya memaknai puasa sebatas menahan lapar, dahaga, dan amarah. Menurut Imam Al-Ghazali, mempuasakan diri bermakna menahan diri dari segala perkataan dan perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt walaupun secuil.
Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh: 183, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Tentu hal ini linier dengan apa yang telah dijanjikan oleh Allah Swt. bagi orang-orang yang berpuasa dengan benar yakni surga al-Rayyan.
Puasa adalah salah satu ibadah khusus di bulan Ramadan yang hukumnya wajib. Ada pula ibadah-ibadah lainnya, semisal salat tarawih dan zakat fitrah.
Semua ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan, didorong oleh kecintaan hamba atas semua syariat-Nya.
Terlebih banyaknya keutamaan di bulan mulia ini. Salah satunya bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia.
Cinta Perlu Bukti
Segala hal perlu pembuktian termasuk kecintaan manusia terhadap Rabb-nya. Manusia dengan segala keterbatasan dan kelemahannya sebagai hamba, membutuhkan petunjuk agar tidak tersesat.
Itulah yang disebut syariat atau hukum syarak yang bersumber dari dalil-dalil yang pasti. Salah satunya adalah Al-Qur’an.
Itu pula yang menyebabkan Ramadan diberi istilah Syahrul Qur’an (bulan Al-Qur’an).
Jika dicermati ritual Ramadan dari tahun ke tahun, belum memberikan efek yang signifikan pada bulan-bulan setelahnya.
Terbukti, masih banyaknya pelanggaran hukum syariat dalam segala lini kehidupan. Seolah ketakwaan itu hanya pada bulan Ramadan.
Padahal, pembuktian cinta kepada Sang Pencipta dibutuhkan setiap saat.
Lihatlah kehidupan saat ini serasa begitu jauh dari tuntunan syariat-Nya. Misal, masih banyaknya transaksi ribawi dalam muamalah-muamalah.
Banyaknya penipuan, korupsi menggurita, kriminalitas di mana-mana, dan segudang permasalahan masih menggelayut seakan tak berujung.
Pun terkait berbagai program moderasi beragama di hampir semua sektor kehidupan.
Mulai dari budaya, pendidikan, pernikahan, dll. Jika dicermati secara “cerdas” akan ditemukan bahwa aktivitas yang dilakukan banyak pihak -di balik topeng moderasi beragama-, justru jauh dari implementasi kecintaan kita pada Ilahi Rabbi.
Ritual kesyirikan makin marak dilakukan akhir-akhir ini. Berbagai pagelaran budaya dilakukan dengan dalih kearifan lokal.
Beragam statement pun menjadi pembenaran akan hal tersebut. Padahal, budaya itu ada yang baik dan ada yang tidak baik.
Artinya, tidak semua budaya bisa kita terima. Standar baik dan buruk adalah syariah, bukan sesuai akal dan hawa nafsu manusia.
Sebagaimana QS. Al-Baqarah: 216, yang artinya: “ … Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ketaatan Total
Berkaca dari sejarah Peradaban Islam sekitar 1400 tahun yang lalu. Dimana Ramadan menjadi momentum untuk membuktikan ketaatan pada Sang Khaliq. Ketaatan total kepada seluruh hukum-Nya.
Implementasi ketaatan total mewujud dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Seyogianya puasa menjadikan individu-individu bertakwa. Namun saat ini, ketakwaan tersebut tidak membekas di luar bulan Ramadan. Jadilah Ramadan hanya sekadar rutinitas tahunan.
Tersebab, ketakwaan adalah perkara kolektif. Butuh keterlibatan semua pihak; baik individu, masyarakat, terlebih negara.
Oleh karena itu, mari jadikan Ramadan kali ini sebagai momentum untuk membuktikan rasa cinta hakiki pada Sang Pencipta.
Caranya dengan menaati seluruh hukum-hukumnya, tanpa tapi tanpa nanti.
Dibutuhkan sistem yang men-support secara paripurna agar ketaatan total dapat terlaksana, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan lainnya.
Wallahua’lam bis Showab.(*)