Opini Tribun Timur
Ramadan dan Pembuktian Cinta Hakiki
Suasana Ramadan tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya, walau pandemi belum sepenuhnya beranjak dari negeri tercinta.
Mulai dari budaya, pendidikan, pernikahan, dll. Jika dicermati secara “cerdas” akan ditemukan bahwa aktivitas yang dilakukan banyak pihak -di balik topeng moderasi beragama-, justru jauh dari implementasi kecintaan kita pada Ilahi Rabbi.
Ritual kesyirikan makin marak dilakukan akhir-akhir ini. Berbagai pagelaran budaya dilakukan dengan dalih kearifan lokal.
Beragam statement pun menjadi pembenaran akan hal tersebut. Padahal, budaya itu ada yang baik dan ada yang tidak baik.
Artinya, tidak semua budaya bisa kita terima. Standar baik dan buruk adalah syariah, bukan sesuai akal dan hawa nafsu manusia.
Sebagaimana QS. Al-Baqarah: 216, yang artinya: “ … Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ketaatan Total
Berkaca dari sejarah Peradaban Islam sekitar 1400 tahun yang lalu. Dimana Ramadan menjadi momentum untuk membuktikan ketaatan pada Sang Khaliq. Ketaatan total kepada seluruh hukum-Nya.
Implementasi ketaatan total mewujud dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Seyogianya puasa menjadikan individu-individu bertakwa. Namun saat ini, ketakwaan tersebut tidak membekas di luar bulan Ramadan. Jadilah Ramadan hanya sekadar rutinitas tahunan.
Tersebab, ketakwaan adalah perkara kolektif. Butuh keterlibatan semua pihak; baik individu, masyarakat, terlebih negara.
Oleh karena itu, mari jadikan Ramadan kali ini sebagai momentum untuk membuktikan rasa cinta hakiki pada Sang Pencipta.
Caranya dengan menaati seluruh hukum-hukumnya, tanpa tapi tanpa nanti.
Dibutuhkan sistem yang men-support secara paripurna agar ketaatan total dapat terlaksana, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan lainnya.
Wallahua’lam bis Showab.(*)