Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Drakor, Film, dan Darurat Kekerasan Seksual, Refleksi Hari Perempuan Internasional 2022

SAYA ingin mengawali esai ini dengan sebuah analogi dari drama Korea yang berjudul Business Proposal (2022) digambarkan pada episode keenam

Editor: Edi Sumardi
KAKAO ENTERTAINMENT CORP
Drama Korea yang berjudul A Business Proposal (2022). 

Supriana

Anggota FLP Cabang Makassar

SAYA ingin mengawali esai ini dengan sebuah analogi dari drama Korea yang berjudul A Business Proposal (2022) digambarkan pada episode keenam, bahwasanya di sebuah penginapan salah satu tokoh perempuan bernama Jin Young So baru-baru pindah dari rumahnya dan bertemu dengan sosok pria kacamata berpenampilan lugu.

Kemudian pria itu memberikan lampu tidur sebagai bingkisan untuk sebuah perkenalan yang disambut baik oleh si perempuan.

Selang beberapa hari perempuan ini tidak sengaja menjatuhkan lampu yang diberikan oleh pria itu, lalu menemukan kamera berukuran balok kecil dibalik pecahan lampu tersebut.

Si perempuan baru sadar bahwa dirinya selama ini dipantau secara sembunyi oleh si pria dengan menanamkan kamera pada lampu yang awalnya dijadikan bingkisan pertemanan oleh si pria itu.

Ketika si perempuan membawa bukti tersebut dan melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak polisi.

Alhasil pria ini diintrogasi oleh pihak berwajib. Namun sayangnya, pria tersebut hanya mendapatkan denda itupun tak seberapa.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa hukuman yang didapatkan oleh pria itu ringan, hanya saja benar adanya, bahwasanya kejadian tersebut memanglah tidak setimpal yang dialami oleh korban.

Sebab perempuan yang menjadi korban tersebut dapat trauma bisa dikatakan tak biasa.

Di drama itu juga digambarkan bahwa perempuan tersebut tidak berani ke toilet umum sebab terbayang-bayang akan adanya kamera yang tersembunyi.

Sampai harus menahan dirinya untuk tidak minum, hingga tiba di penginapannya hanya untuk masuk toilet.

Saya tidak bermaksud untuk menyamakan drama ini dengan kehidupan nyata, tapi itulah yang terjadi di masyarakat kita. Maraknya kasus kekerasan seksual kepada anak-anak beberapa waktu terakhir, cukup menyita perhatian masyarakat.

Seperti kasus pelecehan yang menimpa anak bernama adik Ainin di Makassar, masih berumur 15 bulan yang menyebabkan alat vitalnya rusak dan mengeluarkan darah.

Dan beberapa kasus lainnya yang menjadi sebatas berita. Belum lagi beberapa kasus menimpa remaja, berakhir pada victim blaming sering terulang dalam beberapa putusan hakim di pengadilan.

Ada yang ditanya riwayat seksualnya; korban dianggap tidak perawan, nakal dan suka mabuk-mabukan.

Hal ini juga sering saya dapatkan ketika mendampingi beberapa korban mereka dianggap bukan perempuan baik-baik.

Sampai ada kasus pelaku malah dibebaskan.

Darurat Kekerasan Seksual

Darurat kekerasan seksual.

Pernyataan tersebut tidak terlintas begitu saja. Ia lahir dalam ruang-ruang yang penuh dengan kejadian-kejadian dialami ataupun ditimpa oleh perempuan.

Seringkali kita (saya) melihat kecemasan pada raut wajah korban yang tiap kali dihantui oleh predator yang dimanapun bisa melakukan aksinya; di sekolah, kendaraan, jalan raya, mesjid dan bahkan rumah yang dijadikan tempat peristirahatan, bisa terjadi kekerasan seksual.

Lantas kampus yang baik seharusnya memiliki keterpihakan kepada korban; dengan menerima laporan mengenai kasus kekerasan seksual, membuat tim investigasi serta memberikan pendampingan, pemulihan yang terpercaya, malah tidak berpihak pada korban.

Sebaliknya ketika ada organisasi atau lembaga yang melakukan wacana tersebut malah di bekukan oleh pihak rektor di kampus.

Seperti yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).

Dengan dalil menjaga nama baik kampus. 

Menjadi pelaku juga bisa siapa saja, baik dia kalangan bawah maupun atas, baik dia pakar agama maupun tidak, bahkan organisasi yang selama ini kita anggap tempat berkumpulnya kaum intelektual, para aktivis yang paham akan kasus tersebut, bisa menjadi biang kerok kasus Kekerasan Seksual.

Peristiwa tersebut tidak mengenal waktu; malam, siang dan pagi hari.

Benar saja, dari pernyataan tersebut bahwa Darurat Kekerasan Seksual.

Bisa dinaungkan dimana saja, sebab selain pelaku. Siapa saja bisa menjadi korban.

Selain drakor, kisah tentang kekerasan seksual (pelecehan); merekam secara diam-diam bisa ditemukan di dalam film The Drone (2019).

Memperlihatkan bagaimana kamera yang ditanamkan pada alat terbang tersebut, bisa diarahkan kemana saja dikendalikan oleh pemiliknya. Digunakan untuk melakukan aksinya tanpa ketahuan oleh siapapun.

Perempuan-perempuan tersebut akan direkam secara manual saat mereka tidak mengenakan pakean dan hal lainnya.

Maka dari itu, dimana ruang aman untuk perempuan?

Tidak di organisasi agama, pesantren, rumah, kampus, kantor polisi tidak juga di pengadilan.

Lalu dimana? Selama mereka selalu dijadikan dan dipandang sebagai objek seksual.

Maka perempuan tidak akan pernah mendapatkan ruang aman.

Sehingga perlu mengajarkan kepada anak sejak dini, jenis-jenis kekerasan seksual atau bentuk-bentuk pelecehan khususnya pelecehan yang bisa terjadi meskipun tidak bersentuhan fisik.

Sehingga anak-anak selalu tetap waspada dan tidak takut untuk bicara. Cara ini sekiranya bisa meminimalisir dari risiko kekerasan ataupun pelecehan seksual di kemudian hari.

Apalagi dengan semakin transparannya berbagai informasi yang bisa diakses lewat internet, sangat memungkinkan bagi sebagian besar anak dan remaja memanfaatkannya sebagai media penolong dalam memenuhi rasa keingintahuannya mengenai kasus tersebut, sambil adanya pendampingan orang tua.

Terakhir, dalam judul bukunya 86, Okky Madasari seorang novelis nasional, menuliskan bahwa di negeri ini, tidak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan oleh banyak orang.

Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Begitu Okky menutupnya.

Sehingga fenomena yang terus berulang, menjadikan hal itu sebagai hal biasa, jika peristiwa tersebut dianggap biasa maka disitulah masalah sebenarnya.

Maka perlunya, solidaritas bersama yang perlu dibangun oleh setiap manusia yakni berpihak kepada korban, bisa menjadi payung hukum terhadap korban-korban kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita.(*)

Opini ini telah diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Kamis, 24 Maret 2022.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved