Opini
Drakor, Film, dan Darurat Kekerasan Seksual, Refleksi Hari Perempuan Internasional 2022
SAYA ingin mengawali esai ini dengan sebuah analogi dari drama Korea yang berjudul Business Proposal (2022) digambarkan pada episode keenam
Ada yang ditanya riwayat seksualnya; korban dianggap tidak perawan, nakal dan suka mabuk-mabukan.
Hal ini juga sering saya dapatkan ketika mendampingi beberapa korban mereka dianggap bukan perempuan baik-baik.
Sampai ada kasus pelaku malah dibebaskan.
Darurat Kekerasan Seksual
Darurat kekerasan seksual.
Pernyataan tersebut tidak terlintas begitu saja. Ia lahir dalam ruang-ruang yang penuh dengan kejadian-kejadian dialami ataupun ditimpa oleh perempuan.
Seringkali kita (saya) melihat kecemasan pada raut wajah korban yang tiap kali dihantui oleh predator yang dimanapun bisa melakukan aksinya; di sekolah, kendaraan, jalan raya, mesjid dan bahkan rumah yang dijadikan tempat peristirahatan, bisa terjadi kekerasan seksual.
Lantas kampus yang baik seharusnya memiliki keterpihakan kepada korban; dengan menerima laporan mengenai kasus kekerasan seksual, membuat tim investigasi serta memberikan pendampingan, pemulihan yang terpercaya, malah tidak berpihak pada korban.
Sebaliknya ketika ada organisasi atau lembaga yang melakukan wacana tersebut malah di bekukan oleh pihak rektor di kampus.
Seperti yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Dengan dalil menjaga nama baik kampus.
Menjadi pelaku juga bisa siapa saja, baik dia kalangan bawah maupun atas, baik dia pakar agama maupun tidak, bahkan organisasi yang selama ini kita anggap tempat berkumpulnya kaum intelektual, para aktivis yang paham akan kasus tersebut, bisa menjadi biang kerok kasus Kekerasan Seksual.
Peristiwa tersebut tidak mengenal waktu; malam, siang dan pagi hari.
Benar saja, dari pernyataan tersebut bahwa Darurat Kekerasan Seksual.
Bisa dinaungkan dimana saja, sebab selain pelaku. Siapa saja bisa menjadi korban.