Syahrul Yasin Limpo Jadi Profesor
Membaca Medan Pengabdian Selanjutnya Setelah Syahrul Yasin Limpo Jadi Profesor (1)
Boleh jadi,langgam politik Prof Syahrul yang dekat, terbuka, dan penuh inisiatif itulah yang menjadikan kariernya moncer
Oleh: Mulawarman
Jurnalis/Penulis Buku/Alumnus Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Syahrul Yasin Limpo (SYL) beberapa hari ini menjadi buah bibir, setelah pencalonannya di Mubes IKA Unhas, hingga pengukuhannya sebagai Guru Besar di Unhas, Kamis, 17 Maret 2022.
Meski sempat ada penolakan dari beberapa orang yang mengatasnamakan kelompok tertentu, namun bukan hambatan yang berarti, mengingat jauh sebelum terjadi polemik, proses administratif dalam pengangkatan SYL sebagai profesor kehormatan di Unhas dan Kementerian Pendidikan Nasional sudah selesai.
Hal ini membuktikan bahwa Prof Syahrul memang sosok yang pantas menyandang gelar tertinggi dalam bidang akademik itu.
Karena pastinya dua lembaga pemerintahan baik dari pihak Unhas maupun Kemendiknas sendiri, dalam kewenangannya, memiliki penilaian dan standar objektif yang baku dalam menetapkan seseorang tertentu layak atau tidak untuk mendapatkan gelar akademik itu.
Terlepas dari polemik itu, penganugerahan ini menambah deretan panjang apresiasi kepada Prof Syahrul selama ini.
Sejatinya, berbagai pengalaman dan kemampuannya khususnya di bidang politik dan pemerintahan, boleh jadi melampaui dari apresiasi formil kelembagaan itu sendiri.
Namun, tentu saja sudah menjadi akuntabilitas sebuah perguruan tinggi, seperti yang diatur dalam Permen Diknas, di mana seseorang dengan kualifikasi pengabdian tertentu dapat diberikan anugerah sebagai guru besar.
Dan Prof Syahrul mampu meyakinkan itu.
Saya mengenal Prof Syahrul cukup lama, yakni mulai dia menjadi bupati dua periode di Kabupaten Gowa, gubernur dua periode, dan kini menteri.
Sebelumnya berbagai jabatan birokrasi pemerintahan pernah diembannya, bahkan dari struktur terbawah, yakni sebagai Kepala Desa.
Dari deretan pengabdiannya itu lah, saya kira beliau pantas mendapatkannya. Ditambahkan lagi dengan karakter politiknya yang kerap digambarkan sebagai seorang pemimpin yang humbel kepada semua orang, hatta kepada lawan politiknya.
Tulisan ini, menjadi semacam pembacaan saya atas perjalanan jejak politik dan pemerintahan Prof Syahrul selama ini.
Meski dalam beberapa tahun terakhir ini tidak terlalu dekat, saya cukup mengikuti berbagai kemajuan maupun hal-hal/dinamika yang terkait dengan dirinya, dan bahkan juga dengan keluarganya.
Hal yang menariknya, dari seluruh rangkaian kejadian, karier Prof Syahrul seperti tidak pernah menunjukkan tanda-tanda selesai. Informasi seputar dirinya, kerap menjadi kejaran para pemburu berita baik di Sulsel maupun nasional.
Tujuannya mencatat sosok Prof Syahrul sebagai pemimpin yang khas. Lengkap dengan kapasitas dan pengalamannya.
Ditambah dengan prospek kepemimpinannya di masa mendatang, baik di Sulsel maupun di level Nasional, setelah tidak lagi menjadi orang nomor satu di Kementerian Pertanian RI. Semoga dapat menjadi inspirasi.
Melanjutkan Pengabdian
Satu ketika Prof Syahrul pernah ditanya oleh seorang wartawan, perihal langkahnya pasca tidak lagi jadi Gubernur Sulsel di tahun 2019 awal. Dia menjawab, “Tidak boleh berhenti untuk mengabdi kepada negeri, bangsa, dan rakyat, dan ini harus menjadi bagian dari ibadah.”
Mengabdi seperti menjadi kata kunci perjalanan hidupnya.
Di usianya yang sudah memasuki kepala enam dan 40 tahun lebih berkarier di birokrasi dan pemerintahan, pernyataan itu jelas tidak bisa dianggap remeh.
Sejatinya, itu menyiratkan spirit dan tekadnya yang tak pernah habis untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara. Ungkapan ini jelas jauh dari klaim motivasi mengejar jabatan atau kedudukan.
Yang menarik, spirit mengabdi itu bukan hanya untuk dirinya, tapi juga penting dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar pada umumnya.
Masyarakat kita, ujarnya, dikenal teguh memegang budaya dan filosofis kuat.
Nilai seperti sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi yang dijunjung tinggi masyarakat, harus bisa dihadirkan dalam kepemimpinan memajukan bangs dan negara ini.
“Sejak republik ini hadir, hingga kini, kita selalu memberikan warna, dan semoga kita terus jadi bagian dari proses mewujudkan aspirasi negara itu,” tekadnya.
Negeri ini butuh orang-orang berintegritas, sehingga mampu menyejahterakan rakyat. Bukan orang-orang yang mementingkan diri sendiri.
“Kalau dipimpin orang tidak benar, maka seperti menyapu lantai kotor, bila sapunya tidak bersih, maka lantainya akan tetap kotor,” ucapnya penuh filosofis.
Harapan dan cita-citanya pun terjawab. Oktober 2019, dia pun dipercaya oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri Pertanian RI periode 2019-2024.
Jadilah, tidak lama pasca purna tugas sebagai Gubernur Sulsel dua periode, dia pun mendapat kepercayaan untuk mengabdi di tingkat nasional. Tak main-main tugasnya, yakni mengurus sektor pertanian yang menjadi sumber kebutuhan pangan nasional bagi 273 juta jiwa.
Sebelum jadi Menteri, SYL sebetulnya sempat dipercaya Jokowi menjadi senior advisor di Kantor Staf Presiden (KSP).
Di lembaga ini, dia satu-satunya yang berasal dari birokrat, bersama para tokoh dan ahli seperti Prof Kuntoro Mangkusubroto, Imam Prasodjo, dan yang lainnya, aktif memberikan pertimbangan kepada presiden terkait hal-hal yang strategis permasalahan negeri ini.
Saat konfilk Papua mulai terekskalasi, Prof Syahrul hadir meyakinkan masyarakat, khususnya kelompok Paguyuban Nusantara untuk tidak menjadi milisi, agar mencegah bentrok dengan warga setempat.
Meski pada awalnya, banyak kekhawatiran akan terjadi chaos. Namun, saat itu berkat mediasi kelompok akhirnya tidak terjadi. Kalaupun masih terjadi letupan-letupan kecil sampai sekarang, pemerintah tidak henti-henti berupaya melakukan berbagai pendekatan sehingga tercipta damai di tanah Cenderawasih ini.
Kini, SYL sudah separuh jalan tugasnya sebagai Mentan. Berbagai capaian berhasil ditorehkan. Di tengah itu, boleh saja kita tanyakan kepadanya, pertanyaan yang sama saat dia setelah selesai tugas jadi Gubernur tiga tahun lalu: “hendak kemana setelah tidak lagi jadi Mentan?”
Yang paling bisa menjawab tentu saja SYL sendiri. Namun, boleh saja, saya, Anda atau siapa saja warga Sulsel berharap dan membaca ke mana arah hendak tokoh yang sering disebut sang Komandan politik ini.
Menarik membacanya dalam konteks profil Prof Syahrul secara keseluruhan, dari aspek keluarga, jejak akademik, karir birokrasi, hingga organisasi politik. Ditambah lagi dengan lamanya waktu dan ragam apresiasi yang pernah diraihnya.
Dari rentetan jabatan dan kepercayaan politik yang pernah diiembannya, saya kira kita akan bersepakat dengan jalan hidup yang dipilih politisi gaek yang dikenal dengan orator ini.
Apa itu? Sesuai di paragraf awal, yakni: pengabdian.
Betapa tidak, pengabdian bagi SYL seperti menjadi magic word untuk dia menolak berhenti, memompa terus energi, dan tentu saja berpikir kreatif untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat. Usia boleh jadi tidak lagi muda, mengabdi kepada rakyat tetap yang utama.
Di satu kesempatan dia pernah menyampaikan, “saya ini orang pekerja dan fokus. Kepada orang: kau butuh saya tidak, kalau butuh saya, saya siap mengabdi dengan semua ilmu dan pengalaman yang dimiliki, keberpihakan pada negeri ini di atas segalanya.”
Entah jabatan apa lagi setelah ini, yang jelas segudang pengalaman dan pengetahuannya di organisasi, partai politik, hingga birokrasi pemerintahan, akan memberikan banyak nilai tambah dan manfaat bagi generasi berikutnya seraya mengambil dan menyelami kedalamannya.
SYL dalam keluasan pengalamannya itu tetaplah seorang dengan pribadi yang rendah hati, terbuka pada setiap aspirasi, dan selalu terinspirasi untuk melakukan perubahan.
Jabatannya yang tinggi dan pengalamannya yang luas tidak lantas membuatnya jemawa, dia tetaplah berpijak di bumi, merangkul rekat rakyatnya, dan luwes dalam pergaulan politiknya. SYL tumbuh dengan kelebihan dan kekurangannya.
Sebelum populer istilah politik pencitraan, SYL boleh jadi politisi yang dikenal terbiasa memeluk setiap kawan lamanya, menyapa dan bertanya kabar tentangnya, dan menyingsingkan baju turun membantu mengatasi masalah rakyatnya.
Bukan saat mau pemilu saja, atau bahkan saat ada maunya saja. Dia memang tumbuh dengan karakter politiknya yang khas: kerap menyapa dan merangkul sahabatnya.
Bila saat ini dengan adanya pengaruh media, mudah mengklaim orang yang memiliki hubungan dekat dengan rakyat sebagai politik pencitraan, saya pastikan dia tidak mengenal dekat dengan SYL yang justru terbiasa melakukan itu jauh sebelum menjadi menteri, gubernur, dan bupati.
Karena itu dilakukannya sebagai wujud dari panggilan moral kemanusiaan, di mana seorang memang haruslah dekat dengan sesamanya, lebih lagi bila dia seorang pemimpin yang lahir dan besar bersama rakyat. Kedekatan menjadi kata kunci.
Boleh jadi, langgam politik Prof Syahrul yang dekat, terbuka, dan penuh inisiatif itulah yang menjadikan karirnya moncer di dunia politik dan pemerintahan.
Karena seperti diungkapkan oleh seorang politisi gaek dunia, “cukuplah seseorang empati dan terinspirasi oleh rakyat, untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang sesungguhnya.”
Ditambah kapasitas intelektualnya yang dibuktikan dengan deretan gelar akademik di belakang namanya, dari sarjana, magister, hingga bergelar doktor dalam bidang ilmu hukum.
Hal itu membuat kredibilitas kepemimpinannya tidak perlu diragukan lagi.
Karier birokrasi, pengabdian di politik, serta kapasitas akademik membuat profilnya menjadi lengkap dan utuh sebagai pemimpin yang mampu bertahan tak kurang empat dasawarsa lebih.(*)