Opini Tribun Timur
Pentingnya Peran Intelektual IKA Unhas
Jadi, marilah kita setujui pandangan peraih Nobel Sastra tahun 1929 itu, sembari secara utopis memahami politik sebagai upaya terencana
Aslan Abidin
Alumnus Universitas Hasanuddin serta dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar
“Everything is politics.” Begitu kata sastrawan Jerman, Thomas Mann.
Jadi, marilah kita setujui pandangan peraih Nobel Sastra tahun 1929 itu, sembari secara utopis memahami politik sebagai upaya terencana memperbaiki kualitas hidup orang banyak.
Maka tersebutlah sebuah peristiwa politik bernama Musyawarah Besar Ikatan Keluarga Alumni Universitas Hasanuddin (Mubes IKA Unhas), tanggal 04-06 Maret 2022 di Hotel Four Points, Makassar.
Ajang tersebut sudah menghasilkan seorang ketua baru menggantikan Jusuf Kalla setelah 25 tahun menjabat Ketua IKA Unhas.
Perhelatan itu tentu penting. Ada begitu banyak alumni telah dihasilkan Unhas sejak berdiri tahun 1956.
Bahkan kini, Unhas melaksanakan delapan kali wisuda dalam setahun.
Setiap wisuda mengeluarkan rata-rata seribu lebih alumni atau sekitar 10 ribu alumni tiap tahun.
Siapakah alumni Unhas?
Mereka adalah anggota masyarakat, kemudian masuk Unhas (sebagai mahasiswa), lalu lulus menjelma alumni, dan kembali menjadi anggota masyarakat.
Alur itu membuat kita tahu bahwa alumni melewati dan mendiami dua institusi atau pranata, Unhas dan masyarakat.
Unhas bernilai sebagai institusi intelektual modern dengan tanggungjawab atas tugas utamanya mendidik mahasiswa menjadi mampu berpikir rasional, sehingga kelak sujana di masyarakat.
Sementara alumni sebagai anggota masyarakat, membutuhkan Unhas untuk terus menghasilkan alumnus berkualitas agar jumlah intelektual bertambah di masyarakatnya dan kehidupan mereka lebih baik.
Kelindan itu menunjukkan bahwa Unhas dan masyarakat bertugas dan berkepentingan menghasilkan mahasiswa intelek.
Alumni berpikir rasional. Bukan yang bahkan telah selesai S3 tetapi masih berpikiran gaib ala era mitos Abad Pertengahan.
Ikatan Emosi
Alumni bisa dibayangkan seolah sebuah geng besar dengan jumlah massa terus bertambah.
Kawanan dengan ikatan emosional, moral, dan intelektual.
Bahkah bila itu sekadar kenangan bahwa mereka dulu bersama tersaruk menimba pengetahuan di satu tempat bernama Unhas.
Mereka mungkin pernah saling lontar senyum sapa di satu perpapasan.
Barangkali sempat beradu argumen pada sebuah pertemuan ilmiah.
Boleh jadi telah baku maki dan lempar batu dalam sebuah gempita tawuran.
Setidaknya, mereka sama berbangga mengenang diri mengenakan jas alamamater berwarna merah.
Berhikmat mendekap logo ayam jantan tak percaya diri menatap ke depan di dada sembari bernyanyi: “Ayam jantan lambang perkasaaa..”
Sepotong hidup mereka dari masa lalu pernah bersama dilewatkan di satu tempat.
Walau mungkin berbeda waktu. Potongan masa lalu itu dibawa selalu ke masa depan.
Terus diawetkan dengan mengenang dan menceritakannya berulang-ulang setiap kali berjumpa.
Semua itu dapat mengikat, entah dalam pertalian longgar maupun erat.
Mereka termaklumat bernasab satu ibu pengasuh atau almamater.
Semua itu adalah potensi. Terbuka lebar untuk dimanfaatkan dengan baik. Juga bisa disalahgunakan.
Fokus Mahasiswa
Marilah meneroka minimal dua potensi besar dalam massa alumni Unhas. Pertama, potensi politik. Kedua, potensi intelektual.
Secara politik, mayoritas alumni akan menjadi pemilik hak pilih atau konstituen. Sementara minoritas dari mereka menjadi politisi yang dapat memanfaatkan suara mayoritas alumni.
Keadaan itu membuat alumni berharga secara politik.
Alumni bisa bersatu memilih dan menempatkan alumnus Unhas ke posisi politik penting di Indonesia.
Selain itu, alumni juga bisa dimanfaatkan segelintir politisi untuk menempatkannya di kursi legislatif maupun eksekutif.
Tentu bukan masalah andai dia politisi berguna bagi masyarakat Indonesia.
Masalahnya kalau dia politisi buruk.
Jenis ini biasanya muncul sekali lima tahun menjelang pemilihan umum.
Mereka mengajak bertemu dengan modus silaturahmi. Menyodorkan beraneka janji manis dan kita tak berdaya manggut percaya.
Setelah itu, dia menghilang bersama janjinya. Lima tahun kemudian datang lagi.
Kembali mengutarakan janji serupa dan konyolnya, kita lagi-lagi manggut terpedaya.
Secara intelektual, alumni akan kembali ke masyarakat.
Semestinya sudah berupa orang terdidik dengan kemampuan berpikir logis rasional.
Sayangnya, sistem pendidikan kita belum maksimal mengarah ke membentuk peserta didik berkarakter rasional.
Itulah sehingga mahasiswa amat penting menjadi fokus perhatian.
Mereka sering hilang justru dalam hiruk-pikuk kesibukan universitas mengejar berbagai reputasi.
Nama mereka bahkan disebut sebagai negasi dalam sambutan Jusuf Kalla di Pembukaan Mubes IKA Unhas.
“Kita bukan lagi mahasiswa. Kita harus mampu berkompromi dan menghindari konflik dalam mencapai mufakat,” katanya.
Ungkapan itu secara kontekstual ditujukan ke peserta mubes yang memang bukan lagi mahasiswa.
Sehingga mampu berkompromi dan menghindari konflik.
Kalimat “pelainan” itu merepresentasikan bahwa mahasiswa sering bertindak tidak dewasa.
Itu benar. Sehingga kita tahu bahwa memang ada masalah di mahasiswa.
Pada bagian inilah mestinya alumni berperan penting.
Turut ambil bagian dalam upaya peningkatan kualitas intelektual luaran almamaternya.
Semisal memberikan beasiswa, biaya penelitian, maupun fasilitas pencerdasan lainnya bagi mahasiswa.
Termasuk ikut berupaya memperbaiki perilaku buruk mahasiswa.
Seperti ketololan akut bertingkah preman jagoan dan merasa hebat kalau tawuran.
Kelakuan itu merugikan diri mereka sendiri serta mempermalukan alumni dan almamater.
Kepentingan Politik
Tentu kita layak dan mesti berharap banyak ke IKA Unhas. Tetapi kita juga perlu bersiap kecewa.
Pengalaman menunjukkan bahwa sebuah lembaga terkadang muncul serupa Sysiphus.
Seringkali dibentuk dan berakhir dengan cara serupa. Mubes dengan rapat semalam suntuk mempertengkarkan satu atau dua kata dalam AD/ART dan Program Kerja.
Setelah itu, seusai pengurus dilantik, AD/ART dan Program Kerja tak pernah lagi disebut.
Sepi tanpa kegiatan. Sampai masa kepengurusan berakhir dan kembali semalam suntuk mempertengkarkan satu atau dua kata dalam AD/ART dan Program Kerja.
Kalaupun ada kegiatan, itu saat dimanfaatkan untuk kepentingan dukung-mendukung seorang politisi sekali lima tahun setiap menjelang pemilihan umum.
Segalanya adalah politik.
Apabila demikian, kita berharap politik digunakan secara cendekia untuk mahasiswa yang kelak menjadi alumni dan anggota masyarakat dengan kemampuan berpikir rasional.
Bukan semata politik sesaat jangka pendek untuk kepentingan pribadi.*