Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Ke Timtim, Ditinggalkan Kapal di Maumere

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun”. Teman dan sahabat, Drs.Aspianor, Masrie M.Si berpulang dua tiga hari silam.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Ke Timtim, Ditinggalkan Kapal di Maumere
M Dahlan Abubakar

Oleh M Dahlan Abubakar

Tokoh Pers versi Dewan Pers

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun”. Teman dan sahabat, Drs. Aspianor Masrie M.Si berpulang dua tiga hari silam.

Saya sebenarnya tidak dekat-dekat amat dengan almarhum.

Saya ketika masih aktif sebagai pegawai negeri sipil lebih banyak di Gedung Rektorat Unhas dan Fakultas Ilmu Budaya.

Sedangkan almarhum sibuk dengan kegiatan akademik mengajar mata kuliah “Teori Hubungan Internasional” di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Hasanuddin.

Namun, ada satu peristiwa dalam kehidupan kami bersama lima orang lainnya, memiliki hubungan emosional yang tidak terlupakan.

Pada tahun, 1994, saya bersama rombongan Keluarga Mahasiswa–Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA PBS) ke Dili, Timor Timur yang mengadakan bakti sosial.

Di dalam rombongan yang menumpang KM Kelimutu rute Makassar-Maumere-Dili (Timor Timur, kini Timor Leste) selain pada mahasiswa, ada beberapa orang dosen.

Diantaranya Ir. Syahriadi Kadir, Ir. Muhammad Toha (Prof.Dr. kemudian dan almarhum), Laode Syarif (mantan Wakil Ketua KPK), dan dua orang dosen yang lain dan saya sudah lupa namanya.

Saya waktu itu sebagai Humas Unhas merangkap wartawan Harian “Pedoman Rakyat”.

Para mahasiswa, diantaranya, Ais Amin, Syawaluddin Arif, Luzio (dari Timor Timur), Fatimah, almarhum Aspianor, saya, dan beberapa lainnya yang saya tidak ingat lagi.

Saya mungkin penerima Beasiswa Super Semar pertama di dalam rombongan.

KM Kelimutu mampir – rencananya satu jam – di Maumere, ternyata mampir masa singgahnya dipercepat.

Dan, ini memberikan pengalaman buruk bagi saya, bersama Aspianor, Syawaluddin Arif, Fatimah, dan tiga orang lainnya yang saya lupa namanya.

Alih-alih teman-teman menemani saya bernostalgia di Maumere (mengenang kembali kedatangan saya yang pertama 14 Desember 1992, saat meliput saat gempa bumi di Maumere 12 Desember 1992), justru rasa apes yang didapat.

Apa lacurnya? Gara-gara turun pergi melihat kantor Telkom tempat ’mondok’ saat gempa bumi tektonis dan tsunami tahun 1992, saya bersama rombongan enam orang lainnya ketinggalan kapal.

Apa boleh buat, kami jalan darat ke Larantuka, di ujung timur Pulau Flores.

Kami nginap di situ, padahal hanya dua orang yang punya uang di antara tujuh orang.

Saya dan Fatimah, alumni jurusan Sosiologi Unhas, satu-satunya cewek dalam rombongan yang ketinggalan kapal.

Awaluddin dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas, salah seorang teman yang ada di kapal saat kami tertinggal di Maumere mengatakan, dia sempat berseitegang dengan ABK Kelimutu menjelang kapal tarik jangkar.

Awal panggilannya sempat mengatakan bahwa masih ada teman-temannya belum naik ke kapal.

Dia bahkan sempat berdiri di tangga, hingga kapal merenggang dari dermaga.

Hari itu, ternyata kapal sengaja mempercepat keberangkatannya, sehingga saya bersama teman-teman harus menggigit jari. Ya ketinggalan kapal.

Setelah kapal bergerak terus ke arah utara, kata Awal, akhirnya diumumkan lewat bagian informasi kapal. Isinya meminta kami yang tujuh orang segera merapat ke bagian informasi.

Ternyata setelah ditunggu beberapa lama, kami tidak muncul-muncul. Tidak terikut di kapal.

Buntutnya, kunci-kunci kamar kami yang tertinggal terpaksa dikeluarkan duplikatnya.

Ada beberapa di antaranya terpaksa kuncinya dirusak, karena duplikatnya sudah tidak ada.

Hari sudah malam ketika kami yang mencarter satu mobil kijang tua tiba di Larantuka, kota paling timur di Flores.

Kendala pertama muncul. Mencari penginapan yang memiliki kamar-kamar.

Soalnya ada seorang cewek dalam rombongan kami yang harus menginap di kamar tersendiri.

Setelah mondar-mandir menanyakan penginapan, kami tiba pada suatu penginapan yang mirip asrama.

Di aula besarnya tidak ada kamar-kamar, hanya sebuah ruang besar dengan tempat tidur bersusun dua.

Selama perjalanan, almarhum termasuk irit berbicara. Kalau berbicara, apa adanya.

Dia seorang yang pendiam. Nanti ada hal-hal yang bernada humor baru dia nimbrung tertawa atau menimpali pembicaraan.

Kelihatan dia sangat berwibawa dan percaya diri. Menurut catatan dari namanya, dia termasuk memiliki sifat mandiri. Dan tertarik secara fisik pada orang lain.

Di tengah kesibukan menjelajah berjalan di kota Larantuka yang merupakan wilayah asing bagi saya khususnya, Aspianor tetap diam.

Dia dan teman-teman mengikuti saja langkah saya. Termasuk ketika kami nyelonong pada sebuah penginapan yang berupa bangsal.

’’Ima, kamu tidur di lantai dua sini, saya di bagian bawahnya,’’ kata saya kepada mahasiswa Sosiologi Unhas yang nama aslinya Fatimah tersebut, yang segera mengikutinya.

Ima selalu memanggil saya ’’kakak’’, karena memang saya lebih tua belasan tahun. Selama perjalanan, Ima bagaikan bendahara.

Dia-lah yang mengatur pengeluaran uang selama perjalanan menuju Kupang, Timor menggunakan kendaraan, mulai dari mobil hingga feri dan bus ke Timor Timur.

Siang keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dengan feri ke Kupang.

Sepanjang malam, membaringkan badan di atas dek terbuka bagian belakang feri, saya tersiksa oleh dingin yang terkirim lewat angin laut yang bersedir.

Di badan hanya melekat baju lengan pendek tanpa jaket.

Beruntung ada beberapa lembar koran bekas yang disunglap sebagai ’’pembungkus’’ tubuh yang juga tidak sepenuhnya menolong terbebas dari rasa dingin.

Subuh berikutnya, kami tiba di Pelabuhan Tenau Kupang, bersamaan dengan KM Kelimutu yang juga merapat setelah dari Dili, Timor Timur.

Usai mencicipi ubi jalar rebus, kami menumpang truk yang disopiri pria yang mengaku dari Sulawesi Selatan, saya dan enam orang mahasiswa lainnya masuk ke pusat Kota Kupang menumpang gratis sopir truk yang baik hati tersebut.

Saya duduk di samping sopir bersama Ima, lima orang lainnya, berdiri di bak truk.

Setelah mengisi perut ala kadarnya, kami naik angkot yang hingar dengan bunyi musik yang memekakkan telinga, menuju stasiun bus antarkabupaten di kawasan Hotel Sasando di bagian kota yang terletak di ketinggian.

Di sanalah kami menaikkan kendaraan trayek Kupang-Dili.

Siang itu, bus tiga perempat merangkak pelan, menapaki jalan aspal yang tak terlalu lebar dan mulus ke arah timur.

Hari sudah sore, ketika mobil ’terengah-engah’’ memasuki daerah Atambua, kabupaten perbatasan dengan Timtim yang mendaki.

Setelah menaikkan penumpang dan memuat barang, saat magrib bus melanjutkan perjalanan ke arah timur lagi.

Hari sudah lewat magrib saat bus melintasi perbatasan Indonesia-Timtim yang disebut Mota’ain.

Bus berhenti karena sopir harus melapor pada pos “check point”. Kartu tanda penduduk penumpang diminta, tetapi pemilik KTP-nya tetap di bus.

Di sini ada benteng Portugis di pertigaan jalan. Ada dua jalur jalan masuk ke Timor Timur di dekat gerbang perbatasan ini.

Di sebelah kiri ke Dili di utara, dan di sebelah kanan ke arah Maliana di bagian selatan (dari arah NTT).

Tujuh orang yang ketinggalan kapal ini memasuki Dili, pukul 21.00 WIT.

Beruntung di antara rombongan ada seorang mahasiswa asal Timor Timur (kini sudah kembali ke negaranya), sehingga rombongan tidak nyasar di kota Dili.

Kami turun di asrama tentara yang lagi kosong dan dijadikan pondokan kami selama di Kota Dili.

Teman-teman menyambut kami, termasuk almarhum bagaikan pahlawan yang baru pulang dari medan perang.

Kini penulis di media cetak yang produktif itu telah tiada. Selamat jalan sahabat.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Telusur

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved