Opini Tribun Timur
Rasa Malu yang Sudah Hilang
Tidak lagi punya nilai dan bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk berprestasi, bahkan tidak sedikit mantan narapidana korupsi
Oleh Amir Muhiddin
Dosen FISIP Unismuh Makassar
Oleh sebahagian orang, malu sudah dianggap biasa saja.
Tidak lagi punya nilai dan bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk berprestasi, bahkan tidak sedikit mantan narapidana korupsi masih tersenyum lebar, memasang baliho dan berkeinginan lagi untuk menjadi pejabat publik.
Di kantor-kantor pelayanan publik, sebahagian aparat pemerintah, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi tidak punya rasa malu menerima uang suap, meminta jasa pelayanan illegal.
Bukan hanya itu, bahkan di pinggir dan, di tengah jalan pun, aparat pemerintah tidak punya rasa malu meminta dan menerima uang haram.
Masyarakat juga demikian halnya, mereka sudah kehilangan rasa malu misalnya mencuri, menipu, memberi suap dan berbagai pelanggaran hukum dan etika lainnya.
Hal yang sama terjadi dikalangan usaha, mereka tidak malu meminta proyek meskipun melalui cara-cara ilegal, mereka tidak malu kalau hasil pekerjaannya tidak berkualitas.
Celakanya, kita semua permissif dan membiarkan saja itu terjadi, bahkan mungkin kita juga ambil bagian dan berkontribusi di dalamnya.
Tiga pilar Governance, pemerintah, masyarakat dan kalangan usaha yang sebahagian tidak punya lagi rasa malu, membuat negara dan bangsa ini semakin terpuruk, ketimpangan yang semakin tinggi, lingkungan dan ekosistem yang semakin rusak serta moral yang semakin merosot.
Negara kita adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, bangsa kita adalah bangsa dengan bargaining position yang lemah, TKI kita di luar negeri dilihat sebelah mata, diperbudak oleh bangsa lain.
Akibat karena korupsi , ketimpangan semakin tinggi, yang kaya semakin banyak, tetapi yang sangat miskin pun semakin melimpah.
Banyak orang yang memiliki ratusan bahkan ribuan hektar tanah dan dalam waktu yang bersamaan banyak orang yang nyaris tidak memiliki tanah sedikit pun.
Pemandangan yang sangat miris, terlihat di tengah kota, tanah-tanah yang luas, dipagar dengan tembok yang tinggi dan dalam waktu bersamaan sangat banyak orang yang butuh tempat untuk berusaha, akhirnya menempati selokan atau saluran air untuk berjualan, sekedar menyambung hidup.
Mereka berjualan di depan tembok para pemilik tanah yang luas itu.