Opini Prof Muin Fahmal
DPR Langgar Undang Undang,Maka Undang Undangnya Akan Diubah, Nyamuk Masuk Kelambu Kelambunya Dibakar
Otak negara adalah Eksekutif,jantungnya adalah Legislatif. Jika otak tak berfungsi, akan gila. Tapi jika jantung tak berfungsi, maka binatang pun mati
Oleh: H A Muin Fahmal
Anggota Forum Dosen/Guru Besar UMI
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Di harian Kompas tiga hari berturut-turut mengulas tentang perubahan Undang-undang tentang pembentukan Undang-undang sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tentang Inkonsitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga negara yang salah satu kekuasaannya adalah membentuk Undang Undang.
Dalam menjalankan Kekuasaannya itu tidak boleh semena-mena, melainkan ia pun harus diatur dan tunduk pada Undang Undang sekalipun dia sendiri yang membentuknya dan berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk dengan berbagai teori, doktrin serta kajian-kajian (filosofis, Sosiologis research). Itulah sebabnya sehingga DPR dijadikan sebagai salah satu unsur negara hukum yang demokratis.
Artinya, DPR mempunyai fungsi penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rosseau mengibaratkan bahwa negara ibarat manusia keduanya mempunyai dasar kehidupan yaitu otak dan jantung.
Otak negara adalah Eksekutif sedangkan jantungnya adalah Legislatif. Jika otak manusia tidak berfungsi boleh jadi manusia tersebut linglung atau mungkin gila. Tetapi masih hidup. Tetapi jika jantung tidak berfungsi, maka binatangpun mati.
UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Akhir-akhir ini banyak undang undang yang fenomenal dan mendapat sorotan sejak semula dari masyarakat tak terkecuali dari para ahli dalam berbagai dimensi dimohonkan pengujian oleh pemilik Legal Standing.
Salah satu diantaranya adalah Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja atau UU Cipta Kerja.
Dalam perjalanan pembentukan UU Cipta Kerja tersebut cukup banyak mendapat perhatian baik berupa “ejekan” melalui pelesetan misalnya “Undang undang Celaka”. Kritikan, harapan, bantahan, bahkan dengan pernyataan penolakan melalui demo besar- besar dan menyeluruh.
Prof DR Marya Farida, beliau ahli perundang undangan tersenior dan terbaik di Indonesia (yang) masih hidup dewasa ini, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi RI pernah menyatakan bahwa tidak mengenal model pembentukan Undang undang dengan metode Omnibus law.
Gelombang respon yang menyertai proses pembentukan UU Cipta Kerja ternyata tidak mengurangi semangat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas Rancangan Undang Undang Inisiatif Pemerintah tentang Cipta Kerja tersebut.
Bahkan sangat cepat dan lancar, jika dibanding dengan beberapa Rancangan Undang Undang yang lain. Misalnya Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang sudah lebih kurang 50 tahun dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Berbagai kalangan terutama pemerhati demokrasi, pemerhati kebangsaan, pemerhati rasa nasionalisme, pemerhati hukum dan kelembangaan negara termasuk oleh pemerhati Konstitusi tidak kalah cepat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, ia pun dengan segera menghadang di Mahkamah Konstitusi melalui permohonan pengujian secara formil (Uji formal) maupun permohonan pengujian secara materil (Uji materi).
Alasan permohonan pengujian secara formal Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut adalah karena Dewan Perwakilan Rakyar dalam menyusun, membahas dan menetapkan Undang Undang tersebut dilakukan tidak melalui prosedur yang wajar dilalui sehingga bermakna terutama syarat dan prosedur Uji Publik Perundang Undangan .
Adapun Yudicial Review agar berbagai substansi Undang Undang Cipta Kerja tersebut dibatalkan karena bertentangan denga Konstitusi.
Uji Formil Vs Uji Materil
Secara mutatis mutandi Permohonan para Pemohon baik secara Materil substansial maupun permohonan pengujian formal prosedural dikabulkan dengan tegas dinyatakan bahwa Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat , Memerintahkan Kepada Pemerintah dan DPR memperbaiki Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tersebut paling lambat tanggal 25 November 2023.
Dan dalam hal tenggang waktu tersebut terlewati, maka Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tersebut dinyatakan Inkonstitusional permanen.
Selanjutnya Pemerintah dilarang membuat ketentuan organik (PP,Perpre atau Kepres dan sebagainya yang berkenaan dengan subtansi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Atas dasar itulah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai negarawan dan bahagian dari penyelenggaraan pemerintahan menurut Konstitusi, dengan segera mengambil langkah untuk memenuhi Perintah Mahkamah Konstitusi tersebut.
Langkah pertama dan sterategis yang akan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakayat adalah dengan menyusun Rancangan Amandeman Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagai Usulan (“Inisiatif Dewan Perwakilan Rakayat”) untuk kepentingan “Revisi terbatas” Istilah revisi terbatas tidak dikenal dalam teori Perundang Undangan dan sangat rawan dan potensil merapukan konsturuksi substansi suatu Undang undang.
Substansi yang direncanakan untuk diperbaiki dari Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan tersebut sebagai bahagian dari perbaikan UU Cipta Kerja dengan memasukkan (1) Metode Omnibus Law dalam Revisi Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undang hasil revisi, (2) Mengatur tentang Kedudukan dan Pengutan Partisipasi Publik dalam rangka pembentukan Peraturan Perundang Undangan tentunya termasuk Pembentukan Legislasi di daerah, (3) Prosedur dan cara perbaikan terhadap suatu Rancang Undang dan/peraturan Perundang undangan yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Pada Rencana Perubahan Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undang (Pasal A2), ditegaskan bahwa metode 0mnibus Law adalah metode penyusunan peraturan perundang undangan dengan materi muatan baru atau menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang undangan, atau mencabut peraturan yang jenis yang hirarkinya sama dengan menggabungkan dalam satu peraturan untuk mencapai tujuan tertentu.
Rencana sebagaimana tersebut pada Pasal A2 tampaknya adalah jastifikasi dari praktek Penyusunan Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat Apatah lagi dengan ditutup dengan norma “Untuk mencapai tujuan tertentu” yang dalam dunia perundang undangan disebut sebagai meta norma (norma yang tidak mengikat tetapi tidak terukur sehingga dapat ditafsirkan berdasarkan Kepentingan yang mempunyai kekuasan yang lebih besar.
Ada harapan besar yang dicanangkan dalam rancangan Revisi Undang Tentang Pembentukan Perundang Undangan Pasal 96 (4) dikembangkan sehingga tidak hanya Rancangan Perundang Undangan yang dapat diakses oleh masyarakat akan tetapi termasuk Naskah Akademiknya.
Dikatakan bahwa partisipasi publik diperlukan agar publik bisa mengontrol pembentuk Undang-undang, yakni pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. (K,Kompas 4 & 7 Februari 2022).
Oleh karena itu dokumen naskah akademik dan rancangan Undang-undang harus diunggah secara daring agar public mudah mengaksesnya. Jangan sampai pembentuk Undang-undang menyembunyikan sesuatu dari public yang berhak mengetahuinya sebagai bagian dari keterbukaan informasi dan pertanggunganjawab public.
Pernyataan tersebut di atas sesungguhnya bukanlah pokok permasalahan dalam proses legislasi selama ini khususnya mengenai uji publik. Yang penting diatur dalam revisi Undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
(1). jaminan terwujudnya objektifitas anggota dewan dan fraksi-fraksi baik anggota dewan maupun fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) jaminan pengkajian atas suara publik dan mempertimbangkan saran publik serta
(3) Merumuskan yang dimaksud publik dengan mengingat publik tidak selamanya sama dengan orang banyak, tidak selamanya sama dengan banyak orang.
(4) Merumuskan metode uji publik harus jelas dan tegas sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah hasilnya dikaji secara politik sebagai bahan perumusan politik hukum (Political law).
Hal tersebut adalah penting diingat atau diperhatikan oleh anggota Dewan Perwkailan Rakyat dan fraksi-fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat agar tidak melahirkan produk politik yang marak uji perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi tersebut dan akan lebih membuka kemungkinan dominannya tafsir-tafsir dari yang mempunyai kekuatan politik lebih pada suatu rezim pemerintahan dan mencederai prinsif negara hukum yang demokratis itu sendiri dan dijamin dalam konstitusi hasil reformasi ketata negaraan Indonesia yang harganya sangat mahal
Jangan ibarat ada nyamuk dalam kelambu lalu kelambunya yang dibakar.(*)