Mengenal Kain Sutra atau Lipa Sabbe Khas Wajo Kini Disenangi Turis, Menenun Kebiasaan di Sengkang
Selain wisatawan lokal yang liburan ke Danau Tempe, ternyata turis pun juga sering brong lipa sabbe tersebut.
TRIBUN-TIMUR.COM - Kain sutra atau lipa sabbe yang dikenal dalam bahasa Bugis, kini menjadi incaran para turis.
Kain tenun Sengkang berasal dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Sengkang adalah ibu kota Kabupaten Wajo yang berjarak sekitar 190 kilometer dari Kota Makassar.
Wajo berbatasan langsung dengan Teluk Bonepunya.
Daerah ini memiliki industri tenun sutra, mulai dari hulu hingga hilir.
Selain wisatawan lokal yang liburan ke Danau Tempe, ternyata turis pun juga sering brong lipa sabbe atau Sutra Sengkang tersebut.
Baca juga: Pakai Songkok Bone dan Lipa Sabbe, Ganjar Pranowo: Saya dengan Pak Amran Sudah Berteman Sejak Lama
Baca juga: Lipa Sabbe Bawa Dian Alfiani Wakili Sulsel di Ajang Lomba Desain Nasional
Mereka menjadikan sarung tenun khas Wajo itu cenderamata atau ole-ole untuk dibawa ke kampung.
Hargan sutra Bugis yang bervariasi dan relatif murah membuat para wisatawan memborong.
Dari petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera.
Di Sengkang, tepatnya di Desa Pakanna, Kecamatan Tanasitolo dikenal sebagai kampung penenun.
Tak heran jika berkunjung di Desa Pakanna Sengkang, pengunjung disambung dengan dengan sutra khas alat tenun.
Berdetak-detak begitu keras.
Kain tenun ini lah yang dikenal dengan nama kain tenun Sengkang yang menjadi salah satu buah tangan jika berkunjung ke Provinsi Sulawesi Selatan.
Kain tenun Sengkang ini memiliki motif yang khas antara lain cobo, makkalu, balo tettong, dan balo renni.

Ada pula motif serupa ukiran Toraja dan aksara Bugis.
Baca juga: Foto Airlangga Hartarto Kenakan Setelan Bella Dada, Sarung Tenun, Songkok Recca hingga Replika Badik
Baca juga: UMKM Binaan BI Sarung Tenun Khas Muna Mejeng di Sultra Expo
Beraneka motif itu dirangkai benang sutera dengan warna menyala, seperti oranye dan kuning.
Tapi, tenun sengkang masih mengandalkan kelihaian tangan.
Dari tenunan itu bisa lahir tiga macam tenun, yakni ikat, polos, dan variasi.
Tenun sutera polos tidak bermotif, hanya bermain di satu warna benang.
Sedangkan tenun ikat memakai dua hingga tiga warna benang yang disatukan.
Sedangkan tenun variasi adalah perpaduan ikat dan polos.
Dikerjakan secara kolektif
Di Desa Pakkanna untuk membuat kain tenan, biasanya masyarakatnya bekerja secara kolektif.
Setiap kepala keluarga mengerjakan satu proses dari pembuatan sutra.
Contohnya keluarga A mengerjakan proses pemintalan benang, sementara keluarga B mengerjakan pewarnaan benang dan keluarga C menenun kain.
Setiap keluarga melakukan tahapan-tahapan yang berbeda.
"Di sini macam-macam, misalnya ini proses pembuatan sutra, termasuk sarungnya itu kan melalui beberapa tahapan.
Jadi selalu ada yang dipekerjakan, mulai dari menggulung benang, mewarnai, memintal.
Baca juga: Video: Kedai UMKM di Kawasan RTH Callaccu Sengkang Diresmikan
Baca juga: Dulu Dianggap Hama, Ikan Sapu-sapu Danau Tempe Kini Jadi Pakan Ternak di Wajo
Dari situlah kegiatan sehari-hari mereka menjadi kebiasaan," kata Kepala Desa Pakkanna, Wikra Wardana kepada Tribuntimur.com.
Wikra mengatakan dahulu di Desa Pakkanna Sengkang ada kebun murbai untuk habitat ular sutra.
Namun saat ini di kampung tersebut hanya mengolah bahan baku sutra.
Sedangkan untuk kebun murbai yang menjadi habitat ulat sutra ada di luar kampung.
"Di sini pengolahan bahan baku, ada yang benang dari sutra ada juga yang sintetis, memang di sini sudab dak ada kebun murbai. Dulu memang pernah ada," katanya.
Tidak ada yang bisa melacak sejak kapan masyarakat Wajo mennggeluti aktivias menenun.
Menurut Ridwan salah satu pengusaha kain sutra di Desa Pakkanna Sengkang, ia pernah menanyakan sejarah pertama orang menenun di Kabupaten Wajo.
"Jawaban mama saat itu juga sama, pernah ditanyakan ke mamanya, nenekku dan jawabannya sama juga ternyata. Jadi artinya sudah lama sekali dan tidak terlacak," ungkapnya.
Walaupun alat tenun saat ini kian canggih.
Namun masyarakat di Desa Pakkanna tetap menggunakan tenaga manusia.
Menuurt Ridwan, peralihan alat tenun dari manual ke alat tenun bukan mesin (ATBM) sendiri dimulai pada 1951.
Meski menggunakan alat tenan bukan mesin, Ridwan tetap menjaga keaslian motif dan corak khas kain sutra Sengkang.
Baca juga: Istri Menpora Temui Naoemi Octarina di Makassar, Bahas Milenial dan Sutra Wajo
Baca juga: Proses Pemeliharaan Ulat Sutra Hingga Jadi Benang
Sedangkan penggunaan bahan baku sutra, tergantung ketersediaan karena tak banyak masyarakat yang beternak kokon sutra.
Ridwan berharap dengan komitmen Pemerintah Provinisi Sulawesi Selatan untuk memperkuat persutraan lokal, kejayaan sutra Sengkang bisa kembali bersinar.
Untuk harga kain sutra asli yang terbuat dari benang ulat sutra bisa mencapai jutaan rupiah per meternya, tergantung dari kerumitan motifnya.
Namun ada juga kain tenun sengkang dengan harga terjangkau.
Tapi tentu saja kualitasnya tak sebanding dengan kain tenun yang terbuat dari sutra
Penenun adalah ibu rumah tangga.
Selain di Desa Pakanna, salah satu sentra pembuatan tenun Sengkang ada di Dusun Empagae, Desa Assorajang.
Dua desa tersebut ada di Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo Di Dusun Empagae, Desa Assorajang hampir semuanya warganya ditiap rumah memproduksi kain tenun Sengkang.
Menariknya para penenun adalah ibu rumah tangga, Tradisi menenun itu diwariskan secara turun temurun oleh orangtua mereka.
Salah seorang penenun adalah Lina (30).
Ia telah belajar menenun sejak masih SD.
Dengan menggunakan alat tenun yang dirakit, Lina begitu lihai merapikan benang demi benang hingga menjadi kain tenun yang cantik.
Setiap harinya, ia bisa menenun sepanjang lima meter.
Jika sudah mencapai 150 meter, hasil tenun tersebut akan di pasarkan dengan harga Rp 30.000 per meternya.
Menurut Tokoh Masyarakat setempat, Muhammad Hamzah (38) pemasaran tenun sutera ini sudah ke luar daerah, seperti Jawa.
Tak hanya tenun Sengkang, tenun sutera juga di produksi di tempat ini.
Biasanya turis atau wisatawan yang singgah akan membeli sarung tenun sutera Sengkang ini sebagai buah tangan.
"Bisa dibilang sudah mata pencaharian ibu-ibu di di sini," jelasnya. (Tribun-timur.com)