Opini Mulawarman
Suramnya Masa Depan Kepemimpinan di Sulsel
Kita kembali kepada budaya: siri na pacce. Keyakinan yang lama hilang dalam kebiasaan sehari-hari kita. Malu untuk berbuat sesuatu yang merendahkan
Hanya saja, para pemimpin populis kerap terjebak dalam citra dan agenda perjuangannya sendiri. Eisen (2020) menyebut fenomena populis paradox, di mana pemimpin yang berhasil naik karena mampu menggoreng emosi massa, khususnya dalam isu korupsi, misalnya, nyatanya mereka sendiri terlibat korupsi.
Di dunia ada Kasus Trump di Amerika, Bolsonaro di Brazil, Duterte di Philipina adalah contoh para pemimpin populis yang paradoks, yang naik karena dapat simpati menolak korupsi, tapi dia sendiri terlibat.
Kasus NA di Sulsel tak jauh beda, mendapat penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award dari KPK, tapi justru melakukannya.
Lebih buruknya lagi, label guru besar Unhas yang melekat kepadanya seperti mencoreng institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi penjaga moral masyarakat.
Mengapa para pemimpin populis itu terjebak dengan isunya sendiri?
Pasalnya, mereka menjadikan populisme tak lain hanya sebagai cara atau tepatnya siasat dekati rakyat, demi meraih simpati.
Namun sejatinya tidak diikuti oleh para pemimpin itu untuk membangun karakter leadershipnya yang betul-betul merakyat, demokratis, dan berintegritas.
Tampilan muka boleh jadi malaikat, tapi hatinya menunjukkan wajah yang lain.
Meski rentan terjebak ke dalam populis paradox, para kepala daerah di Sulsel ke depan saya kira masih akan menjadikan populisme ini sebagai strategi politik kepemimpinannya.
Dengan memanfaatkan isu-isu publik yang populer, seperti pemberantasan korupsi, pendidikan dan kesehatan gratis, elit menarik simpati dan dukungan rakyat.
Demokrasi elektoral, langsung dan suara terbanyak, turut menjadi tantangan melahirkan para calon pemimpin populis Sulsel yang paradoks itu.
Seperti disebutkan oleh Ryaas Rasyid (2018) bahwa Pilkada langsung berdampak pada penggunaan uang semakin marak untuk membeli suara dan maraknya perilaku koruptif untuk mengembalikan modal biaya politik.
Bila analisa seorang Guru besar bidang pemerintahan ini benar, maka sangat mengkhawatirkan.
Betapa banyak Bupati, Walikota, Gubernur, di Sulsel khususnya dan bahkan di seluruh Indonesia, yang berniat untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkannya waktu pencalonan; dan korupsi seperti menjadi jalan pintas.
Pendekatan Kebudayaan
Bila saja konsekuensi hukum, tidak cukup mempan mengatasi tabiat koruptif para elit kita, atau membuat jera, sehingga terkesan muncul apriori terhadap penegakan hukum, maka penting mempertimbangkan mengajukan alternatif, yakni pendekatan kebudayaan. Saya yakin kita masih tahu budaya yang diwariskan para leluhur.