Opini Tribun Timur
Sastra dalam Risiko
Dalam pengertian Alain Badiou, risiko adalah sesuatu yang niscaya dalam dunia. Ia memberi tendensi pada risiko dalam lingkup filsafat dan dunia
A Wira Hadi Kusuma
Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang
Dalam pengertian Alain Badiou, risiko adalah sesuatu yang niscaya dalam dunia. Ia memberi tendensi pada risiko dalam lingkup filsafat dan dunia kontemporer.
Ia mengamati bahwa kadang manusia mengalir dalam dunia tanpa siap menerima konsekuensi atas peralihan kondisi.
“Dunia bukanlah sebuah janji, tapi sedikit demi sedikit kita kehilangan kapasitas untuk mengerahkan eksistensi pada risiko atau bahaya-bahaya perubahan hidup”.
Lalu untuk menghadapi bahaya hidup tersebut, ia menyarankan “eksistensi menghendaki perhitungan yang rumit terus menerus.”
Lantas sebab apa yang mendatangkan risiko? Kita sepenuhnya percaya bahwa setiap pilihan ada risiko yang membayanginya.
Pilihan yang keliru niscaya berbuah malapetaka, namun tak memilih pun adalah sebuah risiko yang mesti ditanggung.
Dalam hidup kita dituntut untuk senantiasa berpikir dan berjalan, berjalan agar tidak stagnan terhadap suatu tempat, dan berpikir agar dapat mempertimbangkan segala konsekuensi terhadap pengambilan sikap kita.
Pemahaman serupa dapat dijumpai dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul “Kepada Kawan”.
Meskipun penyair yang satu ini memberi corak tekanan yang berbeda, subjek dalam sajak ini bertenaga, bergairah, dan berani dalam menghadapi bahaya, sekaligus senantiasa mengevaluasi tindakan yang telah dilakukannya:
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan..
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat
Dalam bait sajak ini, seorang individu tidak mesti memadamkan hasrat dan semangatnya.
Di sisi lain, individu mesti mengarahkan diri dan berjuang sekuat tenaga pada bumi yang terus berputar ini.
Namun, risiko yang ditekankan pada sajak itu berupa kalkulasi yang disebabkan oleh kehadiran musuh.
Risiko diletakkan dalam kesadarang ruang otonomi, yakni kemerdekaan harga diri menentang hegemoni di lingkungan hidupnya.
Hal itu dapat kita lihat dalam puisi Wiji Thukul yang begitu eksplisit dan lantang menyuarakan ktirikannya terhadap rezim militeristik kala demokrasi dibungkam:
Aku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan
Mencari Jalan
Ia tak mati-mati
Meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati
Meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi
Ia tak mati-mati
Telah kubayar yang dia minta
Pada puisi ini pilihan yang diambil oleh subjek memiliki risiko sangat besar, si individu amat berani terhadap tindakannya.
Tapi ia cukup sadar terhadap putusannya, bahwa untuk mencapai tujuan besar diperlukan biaya yang tak sedikit. Dan ia memilih itu, meskipun jiwa dan raganya menjadi korban.
Begitulah, tiap risiko adalah perhitungan yang panjang. Pilihan yang mengakibatkan risiko besar pasti menuai masalah besar dan harus diselesaikan dengan cara berpikir besar.
Karenanya, risiko sering ditanggung oleh subjek yang singular atau individu tunggal.
Menurut Badiou, singularitas atau hal yang sifatnya tunggal merupakan faktor mendasar dari eksistensi.
Jika subjek menolak dirinya sebagai individu yang harus selalu siap dengan konsekuensi, maka eksistensinya lemah, mudah goyah, rapuh dan hancur.
Maka dari itu saya ingin menutup tulisan ini dengan penggalan kisah yang disuguhkan Keigo Higashino dalam novelnya “Keajaiban Toko Kelontong Namiya”, dimana seorang pemuda memiliki cita-cita untuk menjadi musisi profesional, ia tak berhenti berjuang walau halangan menerjang, sampai suatu ketika ia hanya diundang bernyanyi pada pesta yang diselenggarakan oleh yayasan perlindungan anak, dan ketika pertunjukan berakhir kebakaran pun melanda.
Pemuda ini melihat anak perempuan sedang menangis, ternyata masih ada adiknya dalam gedung.
Tanpa pikir panjang si pemuda menolong adik perempuan tersebut, ia berhasil menyelamatkannya, tetapi nyawanya tak tertolong.
Namun lagu ciptaannya mengabadi, sebab dinyanyikan oleh anak perempuan yang ternyata memiliki suara unik.
Akhirnya, kisah diatas senada dengan kesimpulan tulisan ini.
Tetaplah berjuang dengan segala pengorbanan, karena perjuangan tak akan sia-sia.
Dan Menanamlah, meskipun bukan kau yang memanennya.(*)