Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kisah Pahlawan

Kisah Hidup I Tenri Awaru Besse Kajuara Singa Betina dari Bone yang Menolak Tunduk pada Kompeni

Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkauk di Bone. Dalam khutbah Jumat, ia disebut sebagai Sultanah Imalahuddin.

Editor: Muh. Irham
telukbone.id
Sosok Raja Bone ke-28, We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara 

TRIBUN-TIMUR.COM - Jauh sebelum Raden Ajeng Kartini lahir untuk menyuarakan emansipasi wanita, di Sulawesi Selatan, telah lahir perempuan-perempuan hebat yang menjadi pemimpin sebuah kerajaan dan memimpin perjuangan.

Meski mereka berstatus pemimpin, namun urusan dapur tetap dijalankan dengan baik. 

Thomas Stamford Raffles (1817) melihat perempuan Bugis Makassar lebih percaya diri daripada yang diharapkan dari peradaban negara-negara lain pada umumnya.

Perempuan tidak mengalami penderitaan, kemelaratan atau pekerjaan yang membatasi produktivitas seperti di bagian dunia lain.

Crawfurd dalam History of Java (1820) mencatat di Sulawesi Selatan perempuan tampak tanpa skandal. Dia berperan aktif dalam semua bisnis dan kehidupan, serta berkonsultasi dengan laki-laki untuk segenap urusan publik, dan memuncaki tahta menjadi raja.  

Semisal I Tenri Awaru Besse Kajuara, raja Bone ke-28 yang berlaga melawan Belanda pada 1859 selama hampir setahun.

Saking dahsyatnya pertempuran ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatan armadanya yang paling besar dan baru berhasil menduduki Bone dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak termasuk pemimpin pasukan Belanda Mayor Kroesen.

Besse menabuh perang tahun 1857, dengan menginstruksikan semua kapal yang berlabuh di pelabuhan Bajoe yang berbendera Belanda, merah-putih-biru harus membalikkannya menjadi biru-putih-merah. Besse sudah hilang kesabaran dan muak menyaksikan kompeni.

Besse laksana singa militan, liat, dalam beberapa perang membara.

Dia raja yang tidak hanya mendengar laporan, namun turun bersama rakyat memegang bedil menggempur musuh-musuhnya. Serangan-serangan Besse sangat mematikan.

Nama Besse Kajuara kemudian diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kabupaten Bone. Bahkan, pemerintah juga mengabadikan namanya menjadi nama sebuah rumah sakit yakni, Rumah Sakit Pancaitana dan RSUD Tenriawaru. 

Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkauk di Bone. Dalam khutbah Jumat, ia disebut sebagai Sultanah Imalahuddin.

Besse Kajuara menjadi Raja Bone dari tahun 1857 hingga 1860. 

Di masa pemerintahannya, ketegangan antara Bone dengan kompeni Belanda kembali memanas.

Kompeni Belanda hendak memperbaharui Perjanjian Bungaya agar persahabatan Bone dan Belanda tetap kokoh dan terjaga.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved