Opini Tribun Timur
Minat Baca Bukan Persoalan Kemewahan
Lalu, bagaimana dengan masyarakat di negara seperti Jepang yang bahkan senang membaca di mana saja dan kapan saja.
Hasnan Sutadi
Ketua FLP Ranting Unhas
Tulisan Wahyu Hidayat, seorang anggota divisi Humas FLP Ranting UNM yang terbit di Opini Tribun Timur berjudul “Sekolah, Perpustakaan, Hingga Masalah Minat Baca” pada Senin (28/10/2021) menegaskan bahwa masalah minat baca bersumber dari tidak optimalnya fasilitas –mewah– perpustakaan.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat di negara seperti Jepang yang bahkan senang membaca di mana saja dan kapan saja.
Bahkan jika itu harus berdiri, berjalan, disegala tempat persinggahan, dan lainnya.
Apakah mereka harus membaca dalam keadaan duduk dan mendapat fasilitas baca seperti sofa atau ruangan ber AC?
Saya jadi teringat dengan salah satu episode SpongeBob Squarepants. Kartun masa kecil yang sering menjadi anekdot hidup.
Suatu ketika SpongeBob pernah jadi bahan taruhan antara Tuan Krab dan Plankton. Sayangnya, Tuan Krab kalah.
Apakah usaha Plankton untuk mendapatkan resep rahasia Krabby Patty dengan mengambil koki dari Krusty Krab berhasil?
Plankton kemudian menyuruh SpongeBob untuk memasak. Namun, SpongeBob tak kunjung memasak juga. Plankton kebingungan dan mengupayakan segala macam cara.
Bahkan sampai memberikan berbagai macam fasilitas kepada koki barunya itu.
Mulai dari menyulap dapur Chum Bucket menjadi seperti Krusty Krab, membelikan sepatu, perawatan diri seperti pijatan, dan lainnya.
Sayangnya, hingga usaha terakhir tak ada yang berhasil menggugah SpongeBob untuk mulai memasak di Chum Bucket.
Gejala Literasi
Banyak hal lainnya yang mengindikasikan gejala literasi kita.
Tidak hanya malas baca buku, tetapi juga seperti rendahnya produksi buku jika harus dibandingkan negara-negara tetangga, distribusi buku yang 90% hanya tersebar di Pulau Jawa, atau bahkan rendahnya fasilitas baca seperti yang dijelaskan Hidayat.
Yang menjadi pertanyaan, ibarat menjual, bagaimana negara kita akan memproduksi buku kalau tidak ada yang ingin membaca?
Apakah layanan pengiriman tidak bisa memaksimalkan distribusi buku yang bisa dengan mudah dipesan secara online, bahkan ada momen gratis ongkir?
Atau, ketika internet menyediakan bahan bacaan yang tidak terkira, kenapa masyarakat kita tidak memanfaatkannya untuk mengakses dan membeli e-book, melainkan lebih sering mengakses media sosial dan gim?
Sekilas, gejala-gejala tersebut sebabnya berasal dari persoalan rendahnya angka minat membaca. Dan karena rendahnya angka membaca menyebabkan gejala-gejala tersebut.
Lalu, kita harus memperbaiki apa dan mulai darimana?
Sistem Berpikir
Daniel H Kim dalam publikasinya mengenai Intoduction to Systems Thingking menjelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan, gejala-gejala yang kita amati dan rasakan itu ibarat gunung es.
Sedangkan yang tak terlihat dari gunung es tersebut adalah pola dan tren, struktur penyebab, dan yang terdalam adalah model mental.
Pola dan tren yang terjadi lalu diuraikan struktur penyebabnya –termasuk para pelaku– yang mendorong pola dan tren terjadi.
Struktur penyebab kemudian diidentifikasi bersumber dari model mental yang membangunnya.
Terlebih persoalan sosial, model mental adalah sesuatu yang intangible (tidak berwujud) yang dibangun atas visi dan nilai nilai, atau prinsip-prinsip yang dipegang teguh para pelaku.
Sehingga hal-hal yang bersifat fisik termasuk penyediaan fasilitas tidak akan berperan besar dalam mendorong minat baca tanpa dilandasi oleh model mental –motif– yang menjadi alasan pengadaannya.
Alasan Membaca
Seringnya, perkenalan kita dengan buku dibuka dengan sangat kaku. Buku hanya ditemui kalau kita ingin belajar atau mengerjakan tugas.
Tidak heran, orang tua bahkan guru mendikte kita untuk menemui buku kalau ada soal atau tugas rumah yang ingin dikerjakan.
Hal ini memberikan kesan kepada kita bahwa buku adalah sesuatu yang berat dan bukan hal yang menyenangkan.
Sehingga mental yang terbangun bahwa orang-orang yang membaca buku adalah orang-orang dikesankan mau menyerahkan diri untuk menemui beban.
Visi untuk membaca buku yang seperti ini haruslah dirubah.
Mari memperkenalkan buku bahwa buku adalah tempat yang menyenangkan, seperti menemukan berbagai peristiwa dan menjelajah ragam perasaan, berefleksi, mengapresiasi, atau bahkan menikmati keindahan kata-kata.
Bukankah hal yang menyenangkan dicari semua orang? Mari membuka ruang untuk membagi kesenangan ini.
Mulai dari orang tua, guru, masyarakat sekitar, harus mulai membaca dengan alasan kesenangan.
Untuk memperkenalkan buku adalah medium menyenangkan dapat ditempuh dengan mengajak orang membaca bukan karena alasan ingin mengerjakan tugas, menggunjing dan berbagi perspektif hasil bacaan, menghadiahkan buku, membeli buku untuk kesenangan, dan lainnya.
Sehingga, jika ingin mengadakan fasilitas, perhatikan dulu sebabnya. Dari sini jelas, bahwa bukan kemewahan perpustakaan yang pertama dibutuhkan, tapi ragam buku bacaan.
Tidak hanya itu, orang tua dan masyarakat tidak boleh hanya mendikte anaknya atau orang lain untuk membaca, tapi juga ikut memperlihatkan budaya membaca.
Mari meneroka bacaan mulai dari nonfiksi, fiksi, pemikiran, motivasi, pandangan hidup, dan lainnya.
Proses ini akan membangun iklim bahwa buku adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan kita sekaligus membangun kesadaran kolektif.(*)
Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Selasa (2/11/2021).