Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Aswar Hasan

MAULID NABI MUHAMMAD SAW: Memuliakan Nabi Tanpa Mengultuskannya

Maulid adalah syiar Islam sebagai momen refleksi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa harus terjebak untuk mengkultuskannya.

Editor: AS Kambie
Dok Pribadi Aswar Hasan
Dr Aswar Hasan, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Unhas 

MEMULIAKAN NABI TANPA MENGKULTUSKANNYA
Oleh Aswar Hasan
Anggota ICMI Sulsel, Wakil Sekertaris BPH Al Markaz Al Islami dan Dosen Fisipol Unhas,Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang dipuji Akhlaknya Oleh Allah SWT dalam Firman-Nya; “Wa innaka la'alā khuluqin ‘aẓīm” artinya: Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang baik.'' (QS Al-Qalam [68]: 4).

Ayat ini menegaskan kepribadian Nabi Muhammad dengan sifat-sifat yang paling baik dan paling mulia. Pada diri beliau terkumpul akhlak terpuji dringan kepribadian yang terbaik yang ada pada manusia.

Allah pun bersama para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad,SAW (QS. Al Ahzab:56).

Ketika Aisyah RA ditanya mengenai akhlak beliau, dia menjawab: “Sesungguhnya Akhlak beliau adalah Al-Quran. Nabi Muhammad, SAW adalah Al-Qur’an berjalan (The living Qur’an).

Menurut Imam Al-Mawardi, ayat itu diartikan sebagai keharusan untuk berbuat baik (berakhlak) terhadap semuanya, seperti dicontohkan Rasulullah SAW.

Entah itu sesama umat Islam, orang lain, bahkan binatang dan tumbuhan sekalipun.

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (Q.S: At Taubah: 128).

Momentum kelahiran (maulid), Maulid Nabi Muhammad SAW, memang tak luput dari kegembiraan, atau pun kesenangan, dan kesyukuran.

Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah anugrah terbesar dari Allah SWT kepada alam semesta dan kemanusiaan yang diperuntukkan sebagai contoh tauladan yang baik dalam segala tindakan (uswah hasanah).

Nabi Muhammad, SAW adalah roel model dalam hidup untuk kehidupan.

Berdasarkan keindahan budi pekertinya, Nabi SAW mendorong kita berbuat baik, saling memaafkan, dan mencintai orang lain, tanpa pandang bulu.

Semua kebaikan itu bermuara pada sebuah ketauladanan terpenting Nabi yang paling utama, yaitu akhlak mulia.

Nabi Muhammad, SAW adalah patron dalam kepemimpinan. Ia amanah bila mengemban amanat. Jujur tanpa kebohongan, tulus tanpa kamuplase pencitraan dengan bermacam dalih atau alibi.

Membantu atas dasar kecintaan tanpa syarat. Sebaliknya, menghukum secara adil dan bijaksana tanpa pandang bulu. Nabi Muhammad,SAW adalah suri tauladan hingga akhir zaman.

Di era sekarang, kita butuh suri tauladan sebagai patron kehidupan di tengah krisis ketauladanan kepemimpinan, terutama bagi setiap pemimpin dari level terendah hingga tertinggi.

Dari pemimpin informal sampai pemimpin formal dalam bernegara.

Kesemuanya hendaknya menjadikan Nabi Muhammad sebagai roel model dan bingkai dari setiap langka kepemimpinannya, terutama dalam hal amanah dalam mengemban tugas dan fungsinya.

Jauh dari kebohongan baik yang tersembunyi, apalagi yang terang-terangan.

Betapa tidak, karena saat ini mencari pemimpin yang jujur, sungguh sudah sangat sulit, karena pemimpin yang sudah kerap terbukti berbohong saja, masih dipertahankan. Bahkan diidolakan karena pertimbangan satu dan lain hal.

Terkait dengan pemimpin yang suka bohong dan zalim, dengan segenap para pengikutnya yang membenarkannya, Rasulullah mengingatkan, sebagaimana dalam hadits yang menyatakan; “Dari Ka’ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw menghampiri kami, kami berjumlah sembilan, lima, dan empat.

Salah satu bilangan (kelompok) dari Arab sementara yang lain dari ‘Ajam.

Beliau bersabda: Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku.

Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku." Hadits tersebut, telah disahihkan oleh ahli hadist Nashiruddin Albani.

Sebagai umat yang ingin selamat (berislam) secara benar dan utuh, wajib hukumnya memuliakan dan meneladani Nabi Muhammad.

Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (Q.S [3] Ali Imron: 31).

Disadari, masih banyak dari kalangan muslim yang belum memuliakan Nabi Muhammad secara baik dan benar, apalagi menauladaninya.

Masih ada yang menjadikan tauladan selain Nabi Muhammad,SAW. Sebaliknya, ada juga yang memuliakan Nabi Muhammad secara berlebih hingga mengkultuskannya melebihi kapasitasnya sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya (utusan Allah)

Sementara itu Nabi Muhammad, SAW tidak mau dikultuskan, apalagi dipuja, hingga diberhalakan.

Beliau hanya ingin dicintai dan disayangi oleh pengikutnya dengan cara menjaga warisannya (Alquran dan Hadist). Itulah peninggalannya yang paling penting dalam menjalani hidup sebagai seorang muslim, maupun sebagai manusia yang diberi mandat sebagai khalifatu fil ardhi-pemimpin di atas bumi.

Bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad,SAW itu, adalah baik. Sepanjang tidak merupakan ritual keagamaan yang dianggap wajib layaknya sebagai ibadah mahda seperti Sholat, puasa, haji dan Shalat.

Maulid adalah syiar Islam sebagai momen refleksi kecintaan kepada Nabi Muhammad tanpa harus terjebak untuk mengkultuskannya.

Karenanya, Maulid Nabi janganlah jadi ritual formalistik semata, yang rutin setiap tahun tanpa bisa mengambil hikmah dan pelajaran ketauladanan di dalamnya, apalagi ramai-ramai mengkultuskannya

Pengkultusan adalah bentuk ghuluw dalam beragama ( melebih-lebihkan secara tak lazim).

Ibnu Taimiyah mendefisikannya sebagai melampaui batas dalam memuji dengan cara menambahkan apa yang tidak sepantasnya.

Allah mengingatkan: “janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu (Q.S: An Nisa [4]:171).

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Bukhari, At Tirmidzi).

Juga di tegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An Nasai, serta Ibnu Majah; “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam.

Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).

Memuliakan, tidaklah sama dengan memuji secara berlebihan. Kita diminta untuk memuliakan Nabi Muhammad,SAW tanpa harus memujinya secara berlebihan, apalagi mengkultuskannya.

Kita memuliakannya karena kita mencintainya dan pantas mantauladaninya. Jadilah umat Muhammad,SAW secara baik dan benar, niscaya kita akan menjadi rahmat bagi alam semesta. Wallahu A’lam Bishshawabe.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved