Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ayah Cabuli Putrinya

UPDATE Kasus Dugaan Pemerkosaan di Luwu Timur, Mabes Polri: Ada Peradangan di Alat Vital Korban

Tim Asistensi Mabes Polri menemukan bukti peradangan yang dialami tiga terduga korban pemerkosaan di Luwu Timur.

Editor: Muh. Irham
Tribunnews
Ilustrasi pemerkosaan 

TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga bocah di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, terus bergulir. Bahkan Mabes Polri sudah turun tangan untuk menangani kasus ini.

Tim Asistensi Mabes Polri menemukan bukti peradangan yang dialami tiga terduga korban pemerkosaan di Luwu Timur.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, bukti itu didapatkan tim asistensi setelah menemui seorang dokter di Rumah Sakit Vale Sorowako.

“Tim melakukan interview pada 11 Oktober 2021, dan didapati keterangan bahwa terjadi peradangan di sekitar vagina dan dubur,” kata Rusdi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (12/10/2021).

Interview itu, menurut Rusdi, dilakukan tim asistensi pada dokter anak bernama Imelda yang melakukan pemeriksaan pada ketiga terduga korban pada 31 Oktober 2019.

Dari informasi Imelda, ketiga korban kemudian diberi obat antibiotik dan parasetamol untuk mengurangi nyeri.

“Hasil interview disarankan pada orangtua korban dan juga pada tim supervisi agar dilakukan pemeriksaan lanjutan pada dokter spesialis kandungan,” ucap dia.

“Ini masukan dokter Imelda untuk memastikan perkara tersebut,” kata Rusdi.

Tim asistensi Mabes Polri telah menyarankan pemeriksaan dilakukan untuk memastikan dugaan pemerkosaan tersebut.

Rusdi mengungkapkan, awalnya ibu korban telah sepakat melakukan pemeriksaan hari ini di Rumah Sakit Vale Sorowako.

Rumah sakit itu dipilih sendiri oleh RS sebagai ibu korban. Tapi tiba-tiba, pemeriksaan yang dijadwalkan hari ini dibatalkan oleh RS dan pengacaranya.

“Dengan alasan anaknya takut trauma,” ucap Rusdi. Adapun Tim Asistensi Mabes Polri berangkat ke Luwu Timur untuk membantu penanganan perkara dugaan pemerkosaan.

Tim tersebut berangkat pada Sabtu (9/10/2021) dipimpin oleh seorang polisi berpangkat komisi besar (Kombes).

Desakan publik agar pihak kepolisian segera melakukan penanganan perkara muncul setelah cerita dari ibu korban diunggah di situs web Project Multatuli.

Pada reportase itu, ibu terduga korban menceritakan bahwa kasus dugaan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah kandung korban dan dilaporkannya pada tahun 2019 dihentikan oleh Polres Luwu Timur.

Adapun Polres Luwu Timur kemudian menyatakan bahwa reportase Project Multatuli itu merupakan hoaks. Pihak kepolisian mengklaim penyelidikan dihentikan karena tidak ditemukan cukup alat bukti.

Kasus Dihentikan Terlalu Cepat

Kepolisian Resor Luwu Timur dianggap tidak berpihak kepada ketiga anak korban dugaan pemerkosaan. Musababnya, penyidik menghentikan kasus tersebut terlalu cepat hanya dua bulan setelah korban melaporkan ke polisi.

“Kasus ini dihentikan sangat awal sekali, prematur selang dua bulan setelah dilaporkan,” kata penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Rezky Pratiwi, Jumat 8 Oktober 2021.

Menurut dia, polisi tidak menemukan fakta atau petunjuk dalam kasus tersebut lantaran tak memeriksa saksi-saksi dan terlapor.

Bahkan saat korban di assesment dan melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur tidak didampingi pengacara atau pekerja sosial.

Ironisnya, P2TP2A mempertemukan korban dan terlapor, sehingga hasilnya tidak objektif. Prosesnya pun sangat singkat yakni 15 menit, padahal ketentuan dalam proses hukum ada tahapan dan melibatkan lebih dari dua dokter.

“Sayangnya assesment itu yang dipakai penyidik menghentikan penyelidikan dan itu diaminkan Polda Sulsel,” ucap Rezky. “Ada dugaan maladministrasi, semua proses berlangsung sangat cepat,” tambahnya.

Oleh karena itu, kata Rezky, pihaknya mendesak polisi membuka kembali perkara ini. Apalagi, saat pihaknya membawa korban ke psikolog untuk assesment hasilnya sebaliknya.

Terjadi kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh bapaknya, bahkan ada pelaku lain. “Itu seragam semua dikatakan tiga anaknya, paling kecil bisa peragaan juga apa yang dilakukan bapaknya,” ucap Tiwi sapaan Rezky. Polisi juga tidak menindaklanjuti surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan.

Saat ini pihaknya sedang berupaya agar kasus dibuka kembali dan menyeret pelaku ke persidangan. Karena yang memiliki kewenangan memproses perkara adalah kepolisian.

“Kami berupaya anak ini mendapat keadilan dan  penegak hukum bisa melindungi anak,” tuturnya.

Terpisah, ibu korban mengaku jika tim P2TP2A, penegak hukum, dan  pelaku mencoba mengintimidasi dengan mendatangi rumahnya. Seharusnya mereka ini berpihak kepada korban pemerkosaan bukan sebaliknya.

“Sangat susah keadilan di Luwu Timur, ini fakta,” ucap dia dengan singkat.

Semetara, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulsel, Komisaris Besar E. Zulpan mengaku pihaknya memang memeriksa aduan dari RA (ibu korban) 9 Oktober 2019.

Ketiga anaknya yang masih di bawah umur dilaporkan diperkosa oleh bapaknya inisial SA. Karena ini kasus pencabulan, lanjut dia, penyidik membutuhkan data pendukung untuk meningkatkan ke tahap penyidikan. 

Oleh sebab itu, polisi membawa ketiga korban untuk di visum di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Malili, Luwu Timur.

Namun hasil visum tersebut tidak ditemukan kerusakan pada alat kelamin ketiga anak tersebut. Karena tak puas, ucap Zulpan, ibu korban meminta dilakukan divisum di Makassar.

Kemudian polisi merekomendasikan ke Rumah Sakt Bhayangkara pada 11 November 2019.

“Hasilnya tak ada gejala atau kerusakan pada organ intimnya sama sekali,” kata Zulpan.

“Laporan itu belum dalam bentuk laporan polisi tapi laporan pengaduan.”

Setelah itu, polisi berkoordinasi dengan Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk assesment ketiga anak itu. Hasilnya pun tidak ada traumatik saat dipertemukan dengan bapaknya.

Malah dengan spontan si anak minta dipangku bapaknya.

“Saat mendapatkan hasil demikian maka Polres Lutim menghentikan kasusnya karena tak cukup bukti,” tutur dia.

Bahkan, pelapor sempat melapor ke Polda kemudian dilakukan gelar perkara, tetapi tetap tak ditemukan bukti. 

Menurut Zulpan, kasus ini menjadi sorotan lantaran terbangun dari media sosial dan mendapat simpatik dari masyarakat. Apalagi sekarang didampingi oleh LBH Makassar. “Kita ada buktinya semua (hasil visum).”

Kalaupun LBH Makassar dan keluarga korban ingin kasus kembali dibuka, polisi mempersilahkan dengan catatan harus memiliki alat bukti baru.

Bahkan, kata Zulpan, pihaknya mempersilahkan jika keluarga korban mengajukan praperadilan jika tidak puas dengan kinerja penyidik.

Terkait soal label hoaks dari Polres Lutim di media sosial, kata Zulpan, karena tak ada pemerkosaan atau pencabulan sesuai hasil visumnya.

“Bagaimana bisa diperkosa anak usia begitu. Bahasanya saja sudah keliru. Dari mana dia tahu diperkosa? Saya lapor polisi kemudian polisi menghentikan, iya memang betul tapi kan polisi melakukan proses upaya hukum,” tegas Zulpan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved