Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ayah Cabuli Putrinya

Diduga Cacat Prosedur, Mabes Polri Didesak Ambil Alih Kasus Rudapaksa 3 Anak di Luwu Timur

Penghentian penyelidikan terhadap kasus itu oleh penyidik Polres Luwu Timur dianggap sangat prematur.

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM/MUSLIMIN EMBA
Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak saat menggelar konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Jl Nikel, Sabtu (9/10/2021) sore. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak, mendesak Polri agar membuka kembali penyelidikan dugaan rudapaksa tiga anak di Luwu Timur.

Hal itu diungkapkan saat menggelar konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Jl Nikel, Sabtu (9/10/2021) sore.

Alasannya, penghentian penyelidikan terhadap kasus itu oleh penyidik Polres Luwu Timur dianggap sangat prematur.

"Dan cacat prosedur," kata Pendamping Hukum dari LBH Makassar, Rezky Pratiwi didampingi Direktur LBH Makassar Muhammad Haerdir dan Direktur LBH Apik Sulsel, Rosmiati Sain.

Ia pun berharap agar kasus itu dapat dibuka kembali dan penanganannya diambil alih oleh Mabes Polri.

"(Karena) kami menganggap penyelidikan sebelumnya ada keberpihakan dan cacat prosedur," jelasnya.

Berikut pernyataan sikap Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak:

Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur kembali menjadi sorotan setelah www.projectmultatuli.com menerbitkan liputan media dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan".

Kasus ini diterima dan mulai dilakukan pendampingan oleh Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak pada 23 Desember 2019.

Selaku Tim Kuasa Hukum Korban, Kami sejak awal menilai penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur serta di dalamnya ditemui sejumlah pelanggaran prosedur.

Dengan fakta-fakta sebagai berikut:

a. Proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi, juga untuk membaca berita acara pemeriksaan para anak korban yang Penyidik minta Pelapor untuk tandatangani.

Bahwa proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya.

Hal ini menyalahi ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23 yang menyatakan bahwa, "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya leh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial."

Pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan 1 (satu) kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan tersebut mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved