Nurdin Abdullah Ditangkap KPK
Sidang Pembacaan Eksepsi Edy Rahmat, Penasihat Hukum: Kalau Ditolak Kami Banding
Yusuf Lessy akan mengajukan banding jika eksepsi kliennya Edy Rahmat tidak dikabulkan.
Penulis: Andi Muhammad Ikhsan WR | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Yusuf Lessy akan mengajukan banding jika eksepsi kliennya Edy Rahmat tidak dikabulkan.
Hal ini disampaikan Yusuf Lessy usai mengikuti sidang pembacaan eksepsi terdakwa Edy Rahmat, di Ruang Sidang Utama Prof Harifin A Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (29/7/2021).
"Kalau tidak dikabulkan saya punya eksepsi saya akan banding. Karena ini penegakan hukum tidak adil kalau begini," ujarnya
"Sebab dalam proses penegakan hukum apa yah, ini dakwaannya cuma asal tempel atau copy paste," lanjutnya.
Menurutnya, landasan peristiwa yang dijadikan dasar dalam menuntut Nurdin Abdullah sama untuk Edy Rahmat.
"Peristiwanya NA dijadikan ke Edy Rahmat. Ini membuktikan tidak maksimal dalam proses mengkaji rumusan pasal 55 itu," terangnya
"Harusnya yang dibedah itu pasal 55 tentang keikutsertaannya, tidak ada sama sekali keterlibatannya, hanya perantara," sambungnya.
Apalagi menurut Yusuf, perantara itu tidak bisa dijadikan tersangka atau terdakwa.
"Kalau mau adil ibu Sari selaku eks kepala biro pengadaan barang juga harus diseret, jangan dipilah pilah dong," ungkapnya.
Lanjut Yusuf, apa yang dilakukan oleh Edy menurutnya resmi merupakan perintah atasan, dalam hal ini Gubernur Nonaktif, Nurdin Abdullah.
"Dan itu murni perintah dari atasan ke bawahannya. Jadi mestinya yang lain juga diseret, karena kedudukannya sama sebagai perantara juga," jelasnya.
Sehingga pihaknya menyimpulkan, jika pasal yang didakwakan ke Edy tidak memenuhi syarat.
"Jadi keberadaan Edy Rahmat itu harus jelas, kalau ini tidak jelas, dakwaannya mengambang," tutupnya.
Sementara itu, Andry lesmana mengatakan, berbeda dengan posisi Sari Pudjiastuti selaku eks Biro Pengadaan Barang Jasa Sulsel.
Edy Rahmat dianggap bukan perantara, tapi juga ikut mendapat keuntungan dari transaksi yang dilakukan NA dengan beberapa kontraktor.
"Kalau kita melihat posisi Edy Rahmat dia bukan sebagai perantara, dia selaku Pegawai Negeri, sekretaris dinas, apa keuntungan yang diterima? dia mendapat jabatan, makanya membantu NA," jelasnya.
Apalagi katanya, Edy Rahmat terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Dan kita harus ingat juga, inikan OTT, fakta hukumnya seperti itu," tutupnya.
Selanjutnya, sidang akan dilanjutkan agenda pembacaan replik dari JPU KPK terhadap eksepsi Edy Rahmat, pada Kamis (30/7/2021).
Diketahui, Edy diduga telah melakukan atau turut serta dalam perbuatan menerima hadiah atau janji untuk Nurdin Abdullah.
Melalui dirinya, Edy menerima uang tunai sejumlah Rp2,5 miliar, atau dari Agung Sucipto selaku pemilik PTbAgung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba.
Diduga uang tersebut diberikan agar NA selaku Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.
Ia memberikan persetujuan bantuan keuangan terhadap Proyek Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sinjai Tahun Anggaran 2021.
Agar dapat dikerjakan oleh perusahaan yang digunakan Agung Sucipto dan Harry Syamsuddin.
Seharusnya kata M. Asri, selaku penyelenggara negara, harusnya terdakwa tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Jo Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Diduga Edy juga telah menyerahkan uang sejumlah Rp2,8 miliar, kepada Gilang yang merupakan Pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Sulawesi Selatan, dari total Rp3,24 miliar.
Dan ssanya sebesar Rp324 juta, diambil terdakwa untuk kepentingan pribadinya.
Atas perbuatannya, Edy juga diancam dengan pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Laporan tribuntimur.com, AM Ikhsan