Klakson
Heran
Di kota besar ini, keheranan nyaris tak lazim, sebab fenomena demi fenomena sungguh membuat kita tertegun dan heran dibuatnya.
Oleh: Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora
BANYAK hal merangsang keheranan kita.
Di kota besar ini, keheranan nyaris tak lazim, sebab fenomena demi fenomena sungguh membuat kita tertegun dan heran dibuatnya.
Di setiap jalan utama di kota ini seringkali kita dapati mobil-mobil dinas berseliweran ke sana-kemari.
Bila dilihat pelatnya yang merah membara itu, kendaraan-kendaraan dinas itu bukan hanya berdinas di Kota ini.
Tetapi juga datang dari daerah-daerah kabupaten dengan jenis kendaraan keluaran terkini.
Tetapi tak perlu heran dengan ini.
Yang menjadi keheranan barangkali adalah kisah seorang rekan ASN yang di suatu saat menceritakan bagaimana mobil dinas di kantornya didandani oleh pemegang kunci kendaraan dinas itu.
"Interiornya full variasi, termasuk empat ban dan velgnya diganti bagai mobil pribadi", kata rekan saya itu.
Sebagai warga negara, wajarlah bila kita heran dengan ini.
Sebab, mobil dinas bukan milik pribadi.
Sak wasangka pasti terbit bila kendaraan dinas diutak-atik sesuai selera sendiri.
Keheranan selanjutnya datang dari kisah seorang rekan lainnya.
Dia menceritakan tentang seorang pengusaha kaya yang ambisius kaya.
Sudah kaya, namun ambisinya untuk kaya terus menyala.
Saya juga heran, di tengah Covid yang menggila beberapa tokoh politik lokal kita menyebar balihonya di ruas-ruas jalan di daerah kabupaten.
Seolah mereka ingin menandingi virus-virus nakal yang tersebar itu.
Lalu, ada rekan yang menjabat sebuah amanah di sebuah jawatan tinggi.
Memang ia amanah dalam arti tugas-tugas ia tunaikan dengan baik.
Namun jabatannya rupanya tak membuatnya tawadhu.
Tampak sekali bila jabatannya membuatnya pongah, namun lupa banyak hal.
Ia kerap kali berujar "kasar" pada orang-orang--termasuk pada rekannya sendiri.
Perangainya yang sayu dan lembut hilang seketika.
Ia lupa jabatan adalah sesuatu yang lepas, bukan permanen.
Heran saya dengan itu.
Lantas, barangkali kita semua heran dengan gaya represif sekompi aparat Satpol PP di sebuah daerah yang "memangsa" kaum kerdil penjaja sayur.
Dalam tayangan yang beredar luas itu, kita tak tahu di mana "hati" terletak?
Di mana "rasa" tersimpan?
Dan, di mana kemanusiaan menempel?
Begitulah "heran".
Hal-hal tak lazim tentu mengherankan.
Di abad Covid ini, kepantasan tak pernah jadi petasan--yang memperdengarkan bunyi di mana-mana.
Mungkin karena abad Covid ini adalah abad kesusahan hingga manusia tak mau lagi menimbang apa yang pantas, apa yang tak pantas.
Semua ingin pintas.
Saya heran, semoga Anda tak ikut heran. (*)