Klakson
Heran
Di kota besar ini, keheranan nyaris tak lazim, sebab fenomena demi fenomena sungguh membuat kita tertegun dan heran dibuatnya.
Saya juga heran, di tengah Covid yang menggila beberapa tokoh politik lokal kita menyebar balihonya di ruas-ruas jalan di daerah kabupaten.
Seolah mereka ingin menandingi virus-virus nakal yang tersebar itu.
Lalu, ada rekan yang menjabat sebuah amanah di sebuah jawatan tinggi.
Memang ia amanah dalam arti tugas-tugas ia tunaikan dengan baik.
Namun jabatannya rupanya tak membuatnya tawadhu.
Tampak sekali bila jabatannya membuatnya pongah, namun lupa banyak hal.
Ia kerap kali berujar "kasar" pada orang-orang--termasuk pada rekannya sendiri.
Perangainya yang sayu dan lembut hilang seketika.
Ia lupa jabatan adalah sesuatu yang lepas, bukan permanen.
Heran saya dengan itu.
Lantas, barangkali kita semua heran dengan gaya represif sekompi aparat Satpol PP di sebuah daerah yang "memangsa" kaum kerdil penjaja sayur.
Dalam tayangan yang beredar luas itu, kita tak tahu di mana "hati" terletak?
Di mana "rasa" tersimpan?
Dan, di mana kemanusiaan menempel?
Begitulah "heran".
Hal-hal tak lazim tentu mengherankan.
Di abad Covid ini, kepantasan tak pernah jadi petasan--yang memperdengarkan bunyi di mana-mana.
Mungkin karena abad Covid ini adalah abad kesusahan hingga manusia tak mau lagi menimbang apa yang pantas, apa yang tak pantas.
Semua ingin pintas.
Saya heran, semoga Anda tak ikut heran. (*)