Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Wiki

Tembikar, Artefak yang Ditemukan di Situs-situs Arkeologi Seko dan Rampi Luwu Utara

Tembikar, Artefak yang Ditemukan di Situs-situs Arkeologi Seko dan Rampi Luwu Utara

Penulis: Chalik Mawardi | Editor: Hasriyani Latif
zoom-inlihat foto Tembikar, Artefak yang Ditemukan di Situs-situs Arkeologi Seko dan Rampi Luwu Utara
Balai Arkeologi Sulsel
Salah satu wadah dari tembikar yang dibuat oleh warga Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

TRIBUNLUTRA.COM, MASAMBA - Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi berada di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Dua kecamatan bertetangga ini berada di wilayah pegunungan.

Seko berbatasan dengan Sulawesi Barat dan Rampi berbatasan Sulawesi Tengah.

Di dua kecamatan ini, salah satu jenis artefak yang ditemukan di situs-situs arkeologi baik di Seko dan Rampi adalah tembikar atau biasa disebut juga dengan istilah gerabah.

Tembikar diartikan secara umum untuk menyebut barang-barang yang berbahan dasar tanah liat.

Seperti yang dijelaskan pada buku Rumah Peradaban Seko dan Rampi diterbitkan Balai Arkeologi Sulsel Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dikutip TribunLutra.com, Jumat (4/6/2021).

Tanah liat terdiri dari bermacam-macam warna, baik sebelum maupun setelah dibakar pada suhu tertentu.

Warna tersebut merupakan variabel yang dapat digunakan untuk menjelaskan jenis tanah liat yang digunakan dalam pembuatan tembikar.

Tembikar telah memberikan pengaruh secara kompleks terhadap kehidupan masyarakat pada masa lalu.

Hal tersebut dibuktikan dengan teridentifikasinya bentuk dan fungsi tembikar yang berbeda-beda.

Secara khusus tembikar berfungsi sebagai wadah untuk menampung, menyiapkan, mengolah, menyajikan makanan dan minuman serta menyimpan benda-benda tertentu.

Hingga pada masa selanjutnya, posisi tembikar tidak mudah digantikan oleh perkakas-perkakas lain seperti logam dan besi, dikarenakan bahan dari tembikar mudah didapat dibanding bahan yang terbuat dari logam dan besi.

Asal usul tembikar dapat ditelusuri dengan meninjau beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, secara terpisah dan pada situs yang berbeda, pertama dikemukakan oleh Belwood (2000:299).

Dalam teorinya Out of Taiwan, bahwa pertanian, tembikar dan beliung batu bertajaman satu sisi, merupakan budaya yang diperkenalkan oleh bangsa atau penutur Austronesia, ketika melakukan migrasi ke kepulauan Indo-Malaysia.

Penelitian lain yang berkenaan dengan hal di atas, telah dilakukan oleh WG Solheim II yang mempelajari sebaran budaya Austronesia di Asia Tenggara melalui kajian tembikar.

Solheim berhasil mengidentifikasi dan mengenali bentuk-bentuk maupun hiasan tembikar yang umum dijumpai di Asia Tenggara.

Yaitu tembikar tradisi “Sa Huynh-Kalanay (750 SM-200 M)” yang berkembang di Filipina dan Vietnam.

Serta tradisi “Bau-Malayu (200-300 M)” yang berkembang di Cina Selatan, Vietnam bagian utara, Taiwan dan beberapa tempat di Filipina, Malaysia Timur dan Indonesia (Soejono, 1984: 269, McKinnon, 1996:2).

Selanjutnya diterangkan lagi oleh Solheim (dalam Soejono, 1993:269-270) tentang persamaan dan perbedaan antara kedua tradisi.

Memasuki masa perundagian, pembuatan tembikar mulai ditingkatkan baik dari aspek teknologi maupun aspek sosialnya.

Aspek teknologi memperlihatkan bahwa pengerjaan tembikar mulai kompleks dengan penggunaan alat tatap-batu dan roda putar.

Motif hias yang dihasilkan juga semakin beragam yang dibuat dengan berbagai teknik hias.

Arkeolog ketika menemukan tembikar akan berupaya untuk membuat tembikar tersebut “bicara” tentang dirinya, sehingga kita
mendapatkan informasi kesejarahan maupun kebudayaan masa lalu.

Arkeolog akan melakukan pengamatan secara seksama pada tembikar untuk mengidentifikasi atributnya baik temper, tekstur, dan tipologinya.

Pengamatan pada temper pecahan tembikar yang dilakukan dengan menggunakan bantuan kaca pembesar bertujuan untuk melihat partikel yang terkandung pada penampang tiap pecahan.

Partikel temper pada penampang pecahan yang terlihat terdiri dari dua jenis, yaitu pasir dan grog, selain itu terdapat pecahan tembikar yang tidak memiliki temper.

Proses identifikasi tembikar yang menggunakan temper jenis grog, dilakukan dengan memperhatikan perbedaan warna partikel yang terdapat pada penampang pecahan.

Jika pada penampang pecahan tembikar, terdapat partikel tanah liat yang menyatu dan memperlihatkan perbedaan warna dengan warna penampang pecahan, maka partikel tersebut diidentifikasi sebagai grog.

Dalam proses pembuatan tembikar tidak selalu hanya menggunakan tanah liat.

Bahan utama tersebut kadang dicampur dengan bahan-bahan lain, untuk mengurangi sifat tanah liat yang plastis.

Bahan campuran yang biasanya digunakan sebagai temper berasal dari bahan organik dan non-organik, bahan organik antara
lain meliputi sekam padi, abu dari sekam padi yang telah dibakar dan pecahan cangkang kerang.

Sedangkan bahan inorganic antara lain pasir, hancuran bata dan grog yang merupakan hancuran tembikar yang tidak terpakai atau tembikar yang gagal produksi.

Penampang pecahan tembikar yang ditemukan di Rampi dan Seko setelah diamati, menunjukkan warna yang beraneka ragam.

Yaitu; warna abu-abu; abu-abu cokelat; abu-abu hitam; abu-abu kecokelatan; abu-abu kehitaman; abu-abu merah; cokelat; cokelat hitam; cokelat kemerahan; hitam; merah; dan merah hitam.

Warna yang tidak rata pada penampang pecahan tersebut merupakan pengaruh dari suhu pembakaran yang kurang sempurna.

Menurut Daniel Rhodes dalam bukunya yang berjudul clay and glazes for the potter (yang diterbitkan di London) mengatakan bahwa; tanah liat merupakan jenis tanah yang terdiri atas butiran bergaris tengah rata-rata di bawah 0,01 mm.

Butir-butir tersebut terjadi akibat proses pelapukan fisika yang disebabkan oleh faktor iklim yang berubah-ubah.

Arkeolog dalam upayanya untuk mengetahui teknik pembuatan tembikar, dilakukan dengan memperhatikan jejak yang tertinggal pada permukaan penampang bagian dalam dan bagian luar.

Setiap teknik pembentukan sebuah tembikar, dapat meninggalkan jejak yang berbeda dengan hasil teknik pembentukan lain.

Misalnya; teknik pijit meninggalkan jejak pada penampang luar dan dalam yang tidak rata, selain itu tampak bekas sapuan dan tekanan jari tangan.

Teknik roda putar meninggalkan striasi yang merupakan jejak berupa garis-garis horizontal pada permukaan keramik yang dibentuk dengan menggunakan roda putar.

Jika menggunakan roda putar lambat, maka striasi akan tampak terputus-putus atau berombak.

Sebaliknya, jika menggunkan roda putar cepat, maka garis-garis tersebut terlihat bersinambung dan teratur (McKinnon, 1996; 75).

Terutama pada penampang bagian dalam, karena permukaan penampang bagian luar biasanya dihaluskan atau tertutup slip.

Teknik tatap landas meninggalkan dua jejak yang berbeda, penampang bagian dalam terdapat jejak berupa cekungan, sedangkan jejak yang ditimbulkan oleh tekanan tatap, terdapat bidang yang rata dan pada bagian luar.

Tembikar dalam pembuatannya, dikenal dua cara penyelesaian permukaan, yaitu diupam dan di-slip.

Fungsi pengupaman dan atau pemberian slip pada permukaan tembikar untuk mengurangi porositas.

Selain fungsi tersebut, ada kalanya pengupaman dan pemberian slip dijadikan sebagai hiasan guna memperindah sebuah tembikar.

Pengamatan terhadap cara penyelesaian permukaan tembikar, untuk memperoleh data terkiat jenis teknik penyelesaian permukaan, seperti slip, upam dan kombinasi keduanya yaitu slip dan upam.

Bagian pecahan tembikar memiliki unsur bentuk yang dapat diamati, unsur tersebut berupa profil, rupa dan ukuran.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved