Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

TRIBUN WIKI

Begini Penampakan Lesung Raksasa di Seko Luwu Utara Berusia 600 Tahun

Terlepas dari benar tidaknya cerita lisan tersebut, benda yang disebutkan dalam cerita tersebut masih dapat kita lihat

Penulis: Chalik Mawardi | Editor: Imam Wahyudi
zoom-inlihat foto Begini Penampakan Lesung Raksasa di Seko Luwu Utara Berusia 600 Tahun
Balai Arkeologi Sulsel
Lesung raksasa ditemukan di Desa Padang Balua, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

TRIBUNLUTRA.COM, SEKO - Lesung raksasa ditemukan di Desa Padang Balua, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Lesung atau I'song, sebutan masyarakat setempat ditaksir telah berumur 600 tahun.

Itu berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Sulawesi Selatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemudian dimuat dalam buku Rumah Peradaban Seko dan Rampi.

Dikutip TribunLutra.com, Minggu (30/5/2021), keberadaan I’song terkait dengan salah satu cerita lisan masyarakat Seko.

Mengenai seorang raksasa bernama Talamia yang dulu pernah tinggal di Seko.

Disebutkan dalam cerita lisan tersebut, I’song atau lesung ini merupakan milik dari Talamia.

Terlepas dari benar tidaknya cerita lisan tersebut, benda yang disebutkan dalam cerita tersebut masih dapat kita lihat saat ini di salah satu punggungan bukit Harairi di Desa Padang Balua.

Lokasi inilah yang kemudian disebut dengan Situs I’song.

Pada kurun waktu akhir tahun 1970-an lokasi ini awalnya dipenuhi dengan rumput dan ilalang.

Sehingga tidak terlihat ada bongkahan besar batu di dalamnya.

Lalu di awal 1980-an area ini mulai
dibersihkan untuk dimanfaatkan sebagai kebun.

Pada saat itulah ditemukan sebuah bongkahan batu berbentuk lingkaran dengan ukuran yang cukup besar.

Dimana di dalamnya berlubang, sehingga terlihat seperti sebuah lesung raksasa.

Pada saat ditemukan, kondisi batu ini telah pecah menjadi tiga bagian.

Namun tidak menghilangkan bentuk utuh dari batu ini sebagai batu melingkar menyerupai lesung.

Batu inilah yang kemudian disebut dengan nama I’song oleh masyarakat Seko dan juga menjadi nama untuk lokasi ini yaitu Situs
I’song.

Sejak saat itu masyarakat Seko menjaga dan melindungi lokasi ini sebagai salah satu tempat bersejarah di Seko.

Keberadaan I’song ini mulai diketahui oleh masyarakat di luar Seko bersamaan dengan kedatangan seorang sejarawan dari Inggris, yaitu Ian Caldwell pada medio November 1992.

Caldwell bersama seorang kawannya, Gerard de la Garde melakukan perjalanan lebih 200 kilometer.

Berjalan kaki, naik kuda dan menyeberangi sungai menuju dataran tinggi terpencil di bagian utara Sulawesi Selatan.

Kawasan yang kurang dikenal dan berpenduduk jarang ini terletak di antara lengkung utara pegunungan Quarles dan bagian selatan pegunungan Takoleju atau Molengraaf.

Dalam perjalanan tersebut Ian Caldwell melintas di Seko dan menyempatkan datang ke Situs I’song dan Laliang.

Hasil kunjungannya ke kedua situs tersebut dimuat dalam salah satu publikasinya yang berjudul A Journey Through the Central
Highlands of South Sulawesi yang terbit pada 2014 di Jurnal Review of Malaysian and Indonesian Affairs.

Caldwell mengidentifikasi struktur batu berbentuk lesung di Situs I’song ini sebagai kalamba berukuran besar yang tipenya serupa dengan yang banyak ditemukan Sulawesi Tengah, khususnya di daerah Besoa.

Empat sisi luar lesung ini dihiasi ukiran dan ada cukup banyak langkan di bagian dalamnya.

Informan Caldwell memberikan informasi bahwa tipe lesung itu adalah satu-satunya di Lembah Seko Padang yang dibawa dari Sulawesi Tengah.

Dipecah menjadi tiga bagian agar dapat diangkut, menyusul penjarahan yang berhasil dilakukan oleh orang Eno.

Menurut Caldewell, tentunya butuh cukup
banyak upaya untuk mengangkut benda seberat itu dari Bada atau salah satu lembah lain di Sulawesi Tengah, tetapi sepertinya inilah yang benar-benar terjadi.

Hal ini berarti, keberadaan lesung raksasa
di Situs I’song merupakan bukti adanya upaya bersama atau gotong royong dan kerjasama dalam upaya menempatkan lesung di tempat ini

Arkeolog dari Universitas Hasanuddin, Yadi Mulyadi pada saat melaksanakan tugas pengawasan Ujian Nasional tahun 2012 di
SMA Negeri Seko, diajak oleh salah seorang tokoh masyarakat Seko untuk berkunjung ke Situs I’song dan Situs Laliang.

Yadi, memiliki kesimpulan yang sama dengan Ian Caldwell bahwa struktur batu di Situs I’song ini memiliki kesamaan bentuk dengan Kalamba di Lembah Bada, Sulawesi Tengah.

Menurut Yadi, hal ini mengindikasikan adanya hunian manusia pada masa lalu di lokasi ini.

Letak Seko yang berada di tengah, antara situs megalitik Lembah Bada dan Situs Neolitik di Kalumpang, Sulawesi Barat, menjadikan Seko sebagai wilayah yang
menarik untuk diteliti oleh para arkeolog.

Keberadaan Situs I’song dan Laliang di Seko mendorong tim peneliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, pada 2015 melakukan survei penyelamatan di Seko.

Pada tahun yang sama tim Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan penelitian awal di Seko.

Kedua kegiatan penelitian tersebut, berhasil mengidentifikasi situs-situs arkeologi lainnya di Seko selain I’song dan Laliang.

Situs-situs arkeologi di Seko ini memiliki tinggalan arkeologis yang merupakan warisan budaya masa lalu, memiliki nilai penting pengetahuan, sejarah dan kebudayaan.

Dengan demikian situs-situs tersebut memiliki potensi sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Upaya pelestarian mulai dilakukan oleh masyarakat adat Seko.

Hal ini pula yang melatarbelakangi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018 melakukan kajian delineasi di Seko dan berhasil memetakan
luasan untuk masing-masing situs di Seko, termasuk di Situs I’song.

Pada pertengahan 2019, tim peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan penelitian lanjutan di Situs I’song dengan
menerapkan metode ekskavasi yang menghasilkan temuan baru berupa fragmen gerabah.

Sebaran batu bulat yang ditempatkan secara berpola, bongkahan batu yang disusun untuk menyangga dasar I’song dan temuan arang yang terkonsentrasi pada beberapa titik di kotak ekskavasi.

Temuan arang itu merupakan salah satu temuan penting, karena dapat dipergunakan untuk sampel analisis pertanggalan.

Hasil analisis pertanggalan dengan metode C14 atau carbon dating terhadap sampel arang tersebut memberikan informasi bahwa hunian di Situs I’song sudah berlangsung sejak 600 tahun yang lalu.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved