Mukjam Ramadan
Zakat Fitrah untuk Peminta-minta dan Mahrum
ZAKAT adalah perintah kebaikan sosial yang unik, "salah lokasi" sekaligus terlalu cepat.
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
Thamzil Thahir
Editor In Chief Tribun Timur
ZAKAT adalah perintah kebaikan sosial yang unik, "salah lokasi" sekaligus terlalu cepat.
Unik; sebab perintah langit-Nya bergandengan wajib sholat, namun debut penunaiannya justru di momen puasa (akhir bulan) Ramadan.
Salah lokasi sebab mandat (QS 73:20) turun di Hijaz, Mekkah, namun lokasi penunaiannya baru di Yasrib, Madinah.
Cepat; karena perintahnya turun tahun 620 Masehi, namun penyelenggaraannya berselang 18 bulan kemudian, akhir Ramadan 622 Hijriah.
Bukan pemberian zakat bermakna penyucian diri.
Seperti puasa, perintah zakat juga turun ke bumi dan "kutiba" sejak periode nabi samawi, Ibrahim AS.
Namun barulah di masa Muhammad SAW (Makkiyah 610-621), perintah diatur sistemik dan propan persona.
Rasulullah mulai mengubahnya jadi "kebaikan komunal, untuk kesejahteraan sosial, pascakemenangan pertempuran Wadii' Badr di Madinah.
Rasulullah SAW mengenalkan rukun Islam ke-4 ini dengan termilughowi (صدقة الفطر) shadaqatul fitr, kebaikan yang menyucikan.
Perintah ini wajib bagi Muslim yang baru berusia 1 jam, hingga masih sakratul maut.
Dari Mukmin tak bertuan hingga yang masih disandera majikan.
Al-Quran memakai frasa zakat sebanyak 57 kali dalam 7 bentuk wazan.
Sebanyak 21 kali dalam bentuk nomina, isim yang berarti "benda atau orang yang mensucikan diri.
Sisanya, 36 kali dalam bentuk verba, kata kerja, atau perintah.
Sebanyak 27 kali kata zakat selalu membonceng dengan perintah salat 5 waktu.
Tercatat sekali digandeng dengan frasa puasa di QS Attaubah;112.
Perintah zakat menggunakan kata attabiuna, abiduna dan hamiduna; mukmin petaubat, penyembah taat, dan memuji kebesaran Allah.
Bukan kata صوم (puasa), penyucian diri (zakat) di surah ini digandeng dengan frasa isim fail (السئحون) yang bermakna pengembara spritual.
• SIYAHA; Nama Lain Puasa dan 8 Ciri Pengembara SupraSpiritual
Di ayat 112 Attaubah ini pula, Alquran tak menggunakan kata shalat (صلاة) untuk diboncengkan dengan zakat (orang-orang tersucikan), melainkan kata ganti Rakiuna (راكعون) dan sajidduna (السجدون)؛ orang-orang rukuk dan sujud.
Penggandengan frasa shalat dan zakat, mengkonfirmasikan bahwa keduanya tak terpisahkan.
Dengan salat, hamba menyucikan diri dari kesyirikan, nahi munkar, serta berserah diri.
Sedangkan zakat, alat penyucian harta bukan tujuan hidup, namun kendaraan.
Sedangkan puasa sebagai ajang pengendalian diri, nafsu, dan pengembaraan supraspritual.
Alquran tak menyebut spesifik frasa zakat fitrah.
Rujukannya di dua ayat surah Alma'arij;
Orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu (QS 70:24) dan "bagi orang (miskin) yang meminta dan orang (terhormat) yang tidak meminta (QS 70:25).
Lissaili (لِلسّائِلِ) dan Mahrum (المَحْرُومِ) juga ada di ayat 19 Azzariyaat. Tidak di 6.324 ayat lain.
Qadi sekaligus mufassir kelahiran Konstantinopel, Imam Abu al-Su’ud ibn Muhammad Imadi al Hanafi (893-986 H), dalam tafsir Ibn Suud (978 H), menafsirkan assail adalah peminta-minta sejati, dan mempertontonkan kemiskinannnya.
Sedangkan Almahrum (الَّذِي لا يَسْألُهُ فَيَظُنُّ أنَّهُ غَنِيٌ) adalah orang taat, (pernah) terhormat, tak mempertontonkan kemiskinannya karena merasa kaya dengan keyakinan dan ilmunya dan terlupakan oleh publik.
Ibn Katsir mendefenisikan mahrum, adalah "idealis" yang hidupnya pas-pasan.
Dicontohkan, mereka mantan saudagar yang bangkrut.
Ini berhak disantuni dan menerima zakat.
Ini dibedakan dengan Muflis.
Ini adalah pedagang yang merugi, bisa karena bencana atau utang.
Ibnu Abbas dan Mujahid, menyebut Mahrum adalah kurang beruntung karena tak terjatah dari Baitul Mal, tidak mempunyai mata pencaharian, tidak pula mempunyai keahlian profesi penunjang kehidupan.
Wallahu a'lam bi shawab.(*)